Perjumpaan Agama dan Sains
Sejarah
perjumpaan antara agama dengan sains sering dianggap sebagai perjumpaan yang
penuh dengan konflik dan pertentangan. Selama ini sejarah perjumpaan agama
dengan sains sering kali didasarkan pada pengalaman Eropa yang tentu saja
sebenarnya terlalu simplisitis dalam melihat relasi antara agama dengan sains.
Relasi
agama dengan sains adalah relasi yang sangat beragam. Hubungan antara Kekristenan
dengan sains tidak bisa serta merta disimpulkan sebagai akhir dari hubungan
keduanya. Hal ini disebabkan karena berbagai tradisi agama memiliki pandangan
yang berbeda-beda terhadap sains dan perkembangan sains. Bahkan di dalam Kekristenan
sendiri, ada pandangan yang berbeda-beda dalam menanggapi sains dan
perkembangan sains.
Hubungan
antara agama dengan sains yang sering dianggap selalu berkonflik juga dirasa
kurang tepat. Lagi-lagi kesimpulan ini ditarik karena didasarkan pada relasi
agama dan sains di Eropa. Di dalam tradisi agama lain seperti Islam misalnya,
sains justru dijadikan sarana untuk menjelaskan ajaran teologi sehingga di sini
relasi antara agama dengan sains adalah relasi yang harmonis. Melihat dari
sejarah hubungan agama dengan sains yang beragam, yang kadang terjebak dalam
konflik dan kadang pula terjadi harmoni dan kolaborasi, lalu sebenarnya
bagaimanakah seharusnya agama berelasi dengan sains?
Relasi Agama dan Sains
Pada
tahun 1996, Campbell dan Curtis melakukan survey mengenai pandangan masyarakat
Amerika terkait dengan relasi antara agama dengan sains. Pertanyaan utama yang
ditanyakan adalah apakah agama masih dianggap sebagai hal yang relevan dalam
kehidupan manusia saat ini dan di masa depan dan apakah sains dianggap sebagai
suatu gerak kemajuan atau kemunduran dalam hidup manusia.
Jawaban
mayoritas dari survey tersebut menyatakan bahwa di masa sekarang dan masa
depan, agama dianggap sebagai sesuuatu yang masih relevan dan penting dengan
skor rata-rata 49,2 persen. Di sisi lain, reponden juga menjawab bahwa sains
adalah suatu gerak kemajuan yang akan membantu kehidupan manusia dengan skor
rata-rata 54,3 persen.
Selain
di Amerika Serikat, survey juga dilakukan kepada orang-orang di beberapa negara
lain. Akan tetapi, hasilnya cukup berkontradiksi dengan hasil survey di
Amerika. Secara total, rata-rata orang berpendapat bahwa di saat ini dan di
masa depan agama dianggap sebagai hal yang kurang relevan dengan nilai
rata-rata 33,9 persen dan di sisi lain kepercayaan terhadap sains sebagai gerak
kemajuan yang membantu hidup manusia mencapai 40,7 persen (secara detail
hasilnya tersaji dalam gambar 1).
Dari
hasil survey ini, terlihat bahwa bagi masyarakat Amerika agama dan sains
dianggap masih sama-sama penting bagi kehidupan. Akan tetapi, mayoritas
masyarakat di luar Amerika menganggap saat ini sains jauh lebih penting
daripada agama. Konsekuensinya dari survey ini adalah bahwa sains dan agama
dianggap sebagai 2 hal yang tidak saling mengisi satu sama lain. Hasil survey
menyatakan bahwa di masa depan sains-lah yang dianggap paling penting.
Meskipun
begitu, ketika surveyor menanyakan apakah responden sering memikirkan tentang
makna kehidupan, maka mayoritas responden di hampir semua negara yang disurvey
menyatakan sering dengan skor rata-rata 71,4 persen. Di sini ditemukan
kontradiksi, bahwa di satu sisi agama dianggap tidak lebih penting dari sains
tetapi spiritualitas tetap dianggap sebagai hal yang menjadi fokus perhatian.
Pada
tahun 2009, Ecklund dan Park melakukan juga survey terhadap para ilmuan di 12
universitas riset di Amerika terkait dengan hubungan antara sains dan agama.
Hasil survey menemukan bahwa para ilmuan menganggap tidak ada konflik dan tidak
perlu ada konflik antara sains dan agama. Hasil ini bertentangan dengan asumsi
awal dari hipotesis yang selama ini diyakini bahwa agama dengan sains memiliki
relasi yang penuh dengan konflik.
Menanggapi
temuan ini, lantas bagaimana sebenarnya hubungan antara agama dan sains perlu
dibangun?
Brooke
(2010) menyatakan bahwa hubungan antara agama dengan sains bisa dibedakan
menjadi 3, yaitu: (1) hubungan yang sifatnya saling bertentangan atau incompatibility, (2) hubungan yang
saling mendukung atau common compatibility,
dan (3) hubungan yang tidak memiliki kaitan sama sekali atau different area of jurisdiction.
Mengaca
pada hasil temuan survey yang dilakukan tahun 1996 dan 2009 terkait dengan
relasi agama dengan sains, maka relasi yang sebenarnya harus dibangun adalah
relasi yang netral. Netral dalam artian bahwa sains dan agama memiliki
yuridiksi yang berbeda. Di masa depan sains dianggap lebih menjanjikan untuk
membantu kehidupan manusia dibandingkan agama, tetapi ternyata manusia tetap
tidak bisa lepas dari unsur spiritualitas. Hal ini kemudian harus menempatkan
agama dan sains di dalam ranah yang berbeda.
Sains
berperan dalam ranah jasmani sebagai gerak kemajuan untuk mempermudah hidup
manusia, dan agama berperan dalam ranah rohani sebagai kendaraan sprititual
manusia dalam memahami hidup. Peran agama tidak boleh dicampuradukkan dengan
peran sains. Keduanya memiliki kewajiban yang berbeda dan tidak saling
mencampuri.
Fenomena
alam dan sosial biarlah dijelaskan dengan pendekatan sains, sedangkan fenomena
spiritual dan moral dijelaskan dengan pendekatan agama. Sudah selayaknya kitab
suci dijadikan pegangan sebagai pedoman spiritualitas manusia bukan sebagai
penjelas dari fenomena alam dan sosial, karena hal itu bukanlah ranah yang
harusnya digeluti oleh agama.
Apabila
relasi yang netral ini tidak dijaga, maka dikhawatirkan tidak akan terjadi
perkembangan dalam sains dan juga dikhawatirkan teologi agama dihancurkan oleh
penjelasan sains.
Penutup
Relasi
sains dan agama hendaklah dijaga dalam relasi yang netral dalam artian keduanya
tidak boleh saling mencampuri satu dengan yang lain. Objek kajian sains dan
agama adalah objek kajian yang berbeda yang tidak bisa diperbandingkan maupun
dipertentangkan satu dengan yang lainnya. Ranah sains berada pada ranah jasmani
sedangkan agama berada dalam ranah rohani.
Referensi
Campbell,
R. A. dan Curtis, J. E. (1996). The Public's Views on the Future of Religion and Science:
Cross-National Survey Results. Review of Religious
Research, 37 (3), 260-267.
Ecklund, E. H. dan Park, J. Z.
(2009). Conflict between
Religion and Science among Academic Scientists? Journal for the Scientific Study of
Religion,
48(2), 276-292
Brooke, J. H. (2011). Historical
Perspectives on Religion and Science. A
companion to philosophy of religion. – 2nd ed. / edited by Charles Taliaferro,
Paul Draper, and Philip L. Quinn. West Sussex: Blackwell Publishing
Komentar
Posting Komentar