Problem Universalitas dalam Metafisika
Salah satu topik yang dibahas dalam metafisika adalah problem universalitas dan partikularitas. Problem tersebut terkait dengan; Apakah ada sesuatu yang universal di dunia ini ataukah semuanya hanya hal yang partikular?
Problem
ini menjadi perdebatan yang tiada akhir. Beberapa pihak berpendapat bahwa tidak
ada yang namanya hal-hal universal. Segala sesuatunya adalah partikular. Apa
yang dianggap sebagai hal yang universal tak lain adalah sesuatu yang melekat
pada yang partikular. Apabila kita berkata tentang “biru” maka tidak ada yang
namanya biru secara universal atau konsep ‘kebiruan” yang ada adalah biru yang
melekat pada suatu hal tertentu misalnya mobil biru. Oleh sebab itu, golongan
ini - yang selanjutnya disebut sebagai nominalisme – sepenuhnya menolak suatu
kenyataan yang sifatnya objektif. Menurut aliran ini segala sesuatu yang
dianggap sebagai "hal itu" tidak memiliki acuan dalam alam nyata. Suatu konsep
hanyalah konstruksi pikiran manusia yang didasarkan pada konsensus sosial
(Homer et al, 2001). Jadi bisa jadi apa yang disebut “biru” saat ini berbeda
dengan “biru” pada saat yang lain di tempat yang lain. Sehingga konsep “biru
sebagai hal yang universal itu tidak ada. Semuanya partikular dan kontekstual.
Pihak
oposisi yang lain menyatakan bahwa justru ada hal yang sifatnya universal.
Apabila kita berkata “biru” maka konsep “kebiruan” itu adalah konsep yang
sifatnya universal dalam artian bahwa biru akan selalu biru di mana pun dan
kapan pun. Aliran ini disebut sebagai realisme. Menurut aliran ini, apabila
tidak ada yang universal maka bagaimana manusia bisa memahami suatu konsep,
misalnya biru. Apabila biru itu bukan suatu konsep yang universal maka, biru
itu akan berbeda-beda di lain tempat dan di lain waktu. Selain itu, apabila
tidak ada yang universal maka bagaimana kita dapat melakukan
klasifikasi. Klasifikasi baru dapat dilakukan saat kita melihat perbedaan dan
persamaan dari hal-hal yang sifatnya partikular. Misalkan kita dapat melakukan
klasifikasi mobil berdasarkan warna karena warna itu sendiri adalah konsep yang
universal misal merah dan biru. Biru tidak melekat pada mobil, tapi biru itu
adalah konsep yang berdiri sendiri lepas dari mobil. Oleh sebab itu, aliran
reaslime akan mengatakan bahwa suatu konsep itu memiliki referensinya di alam
nyata. Suatu konsep bukan hanya hasil konstruksi pikiran manusia semata, tetapi
memang dalam realitas konsep tersebut ada (Homer et al, 2001).
Menurut
saya, aliran realisme lebih masuk akal dalam memberikan pendasaran argumen
karena aliran nominalisme memliki kelemahan-kelemahan yang tidak terjawab
yaitu; (1) apabila segala sesuatu yang dianggap sebagai hal universal adalah sesuatu
yang melekat pada hal yang partikular lalu bagaimana kita menjelaskan konsep
seperti ”baik”, “jujur”, “ramah”? Jika baik harus melekat pada yang partikular
misalkan “orang baik” tetapi lalu apa arti dari “baik” itu sendiri? “Baik” bukan
hanya suatu predikat yang melekat pada yang partikular tetapi “baik” memang
memiliki arti dan referensinya dalam realitas. Kita bisa membedakan orang baik
dengan orang tidak baik dengan memberikan contoh di dunia nyata dan semua orang
akan paham apa itu “baik”. Oleh sebab itu, “baik” adalah konsep yang universal.
(2) Apabila segala sesuatu yang dianggap universal adalah tak lain dari
predikat yang melekat pada yang partikular, maka seharusnya apabila terjadi
perubahan kualitas dari hal yang partikular tersebut berubah pula konsep tadi.
Misalkan, apabila “biru” adalah predikat yang melekat pada mobil sebagai “mobil
biru” maka ketika kualitas mobil itu berubah arti kata “biru” harus berubah.
Akan tetapi, tidak begitu adanya. “Biru” sebagai konsep tetap sama dan tidak
berubah walaupun kualitas “mobil biru” tadi berubah. Oleh sebab itu, “biru”
merupakan sesuatu hal yang universal. Universalitas itu ada. (3) Apabila hal
yang dianggap universal hanya merupakan predikat bagi hal yang partikular, maka
bagaimana menjelaskan perbedaan-perbedaan antara 2 hal yang memiliki predikat
yang sama tetapi ternyata berbeda? Misalkan, apabila “biru” adalah hal yang
melekat pada mobil menjadi “mobil biru” lalu mengapa “baju biru” memiliki
persamaan dengan “mobil biru”? Padahal seharusnya “biru” dalam mobil dan “biru”
dalam baju adalah hal yang berbeda karena di sini biru melekat pada mobil dan
baju. Akan tetapi, kenyataannya biru dalam baju dan biru dalam mobil ternyata
sama. Jadi biru adalah hal yang universal. Maka universalitas itu ada.
Konsep
itu bukan hanya hasil kesepakatan tetapi memang ada referensinya yaitu berupa
universalitas tersebut. Karlina Supelli
(2013) mengatakan; “…wujud-wujud tak kasat
indera yang dipostulatkan oleh teori-teori yang sudah matang mempunyai acuan di
dunia nyata. Bagaimana bom atom dapat menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki
seandainya “atom” dalam teori fisika tidak mengacu dengan benar ke atom yang
ada di dunia.”
Referensi:
Homer, B. D., Brockmeier, J., Kamawar,
D., & Olson, D. (2001). Between realism and nominalism: learning to think
about names and words. Genetic, Social,
and General Psychology Monographs, 127(1), p. 5-25.
Supelli, K. (2013). Bingkai kurus
realisme struktural epistemik. Diskursus,
12(2), p.153-190.
Komentar
Posting Komentar