Klaim Kebenaran Agama dan Fundamentalisme


Filsafat berasal dari akar kata dalam bahasa Yunani yaitu “Philo” yang artinya cinta dan “Sophia” yang artinya kebijaksanaan. Secara sederhana filsafat bisa diartikan sebagai cinta kebijaksanaan. Lebih lanjut Prof. Fuad Hassan berpendapat bahwa filsafat adalah suatu ikhtiar atau usaha yang mencoba untuk berpikir secara radikal (Bakhtiar, 2015). Radikal berasal dari kata “Radix” yang berarti akar. Oleh sebab itu, berpikir secara radikal berarti berpikir mulai dari akarnya segala sesuatu yang hendak dipermasalahkan. Dengan cara berpikir secara radikal, filsafat mencoba mencapai kesimpulan yang bersifat universal.
Dalam filsafat agama, berpikir secara filosofis berarti mencoba mengurai segala permasalahan terkait agama mulai dari akarnya. Filsafat agama bisa diartikan sebagai usaha untuk membahas secara mendalam tentang ajaran dasar agama dan hal-hal yang terkait dengannya. Di dalam filsafat agama, tuhan, kitab suci, kebenaran, eskatologi, ritus dan ritual, serta simbol keagamaan merupakan hal-hal yang dikaji dan dipermasalahkan. Di dalam filsafat agama, hal-hal tersebut tidak diterima begitu saja tetapi dipertanyakan untuk dicari tahu hakikat terdalamnya.

Di dalam agama, iman menjadi pokok utama. Di dalam iman seorang pemeluk agama menyatakan diri mempercayai klaim kebenaran yang ditawarkan oleh agama. Klaim kebenaran ini dianggap sebagai pokok iman, tanpa adanya klaim ini maka agama akan kehilangan otoritasnya. Akan tetapi, ternyata klaim kebenaran dalam agama ini ibarat pisau bermata ganda. Di satu sisi klaim kebenaran agama adalah pokok iman yang menopang agama sebagai suatu sistem tetapi di sisi lain klaim kebenaran ini adalah sebuah ideologi yang bisa jadi bersifat tertutup dan membutakan.
Klaim terhadap kebenaran suatu ajaran agama menurut D’costa (1996) bisa dibedakan menjadi 3 tipologi dilihat cara pandang terkait dengan kebenaran wahyu (revelation) dan jalan keselamatan (salvation), yaitu:
  1. Eksklusivisme (exclusivism)
  2. Pluralisme (pluralism)
  3. Inklusivisme (inclusivism)
Eksklusivisme menyatakan bahwa hanya ada satu wahyu yang benar (yaitu wahyu yang dipercayainya. Misalkan wahyu agama Islam jika ia seorang muslim) dan oleh sebab itu hanya ada satu agama yang benar. Keyakinan lain adalah sebuah kesesatan dan oleh sebabnya agama tersebut tidak mengandung nilai kebenaran. Di sini kebenaran (truth), wahyu (revelation), dan jalan keselamatan (salvation) adalah sesuatu hal yang saling terkait erat. Hanya ada satu wahyu yang mengandung kebenaran sehingga hanya ada satu jalan keselamatan.
Pluralisme di sisi lain menyatakan bahwa kebenaran terkandung di dalam setiap ajaran agama secara parsial (all major religions have true revelation in part). Oleh sebab itu, tidak ada satu pun agama yang bisa mengklaim ajarannya sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang final dan definitif. Di sini, kebenaran, wahyu, dan jalan keselamatan masih sesuatu hal yang saling terkait erat, tetapi berbeda dengan eksklusivisme, pluralisme memandang bahwa kebenaran, wahyu, dan jalan keselamatan bisa ditemukan di masing-masing ajaran agama.
Sedangkan inklusivisme sudah memisahkan klaim kebenaran (truth), wahyu (revelation), dan jalan keselamatan (salvation). Inklusivisme menyatakan bahwa hanya ada satu wahyu yang benar yang mewujud dalam ajaran agama tertentu, tetapi kebenaran dan keselamatan bisa saja ditemukan di luar suatu ajaran agama tertentu. Di sini suatu ajaran agama tertentu dianggap sebagai satu-satunya agama yang memiliki wahyu (revelation) yang benar, tetapi unsur kebenaran pun masih bisa terkandung di dalam agama lain. Sebagai contoh, orang muslim yang berpandangan inklusivisme akan menganggap Islam sebagai satu-satunya agama yang mendapatkan wahyu yang benar tetapi agama Yahudi dan Kristen pun dianggap sebagai ajaran agama yang masih memiliki unsur kebenaran walaupun dianggap sudah banyak penyimpangan di dalamnya.
Dari pandangan terhadap klaim kebenaran agama inilah kemudian muncul beraneka rupa ideologi mulai ideologi yang paling longgar seperti misalkan aliran reformasi dalam agama Yahudi, atau Islam Liberal sampai dengan ideologi yang paling tertutup dan membutakan yang biasa disebut sebagai ideologi fundamentalisme agama.
Menurut Lawrence (1989 dalam Emerson dan Hartman, 2006) menyatakan bahwa fundamentalisme adalah ideologi yang berkonflik dengan modernisme dan terinspirasi oleh klaim kebenaran agama. Lebih lanjut Appleby dan Marty (2002) menyatakan bahwa fundamentalisme:

“…draws lines in the sand, demand unconditional obedience from the rank and file, expend enormous energies maintaining boundaries between the pure and impure, build impenetrable dogmatic fortresses around the truth and see their vision of it as absolute, infallible or inerrant.”
Fundamentalisme adalah titik terjauh dari eksklusivisme. Di dalam fundamentalisme, klaim kebenaran yang dianut oleh pengikutnya kemudian menjadikan mereka tertutup dari pandangan lain di luar pandangan kelompoknya dan bahkan sering kali memaksakan pandangannya tersebut kepada kelompok lain dan sering kali menggunakan cara kekerasan.
Menurut Max Weber (dalam Emerson dan Hartman, 2006) fundamentalisme muncul sebagai respon pada proses sekularisasi dan modernisasi. Proses sekularisasi dan modernisasi hanya menempatkan agama sebagai satu sub-aspek dari keseluruhan kehidupan. Peran agama kemudian menjadi semakin mengecil. Hal ini bertentangan dengan keyakinan para fundamentalis yang menganggap agama sebagai sumber segala sesuatu. Fundamentalisme mencoba mempertahankan klaim kebenaran agama dan mengembalikan peran dan posisi agama ke pusat kehidupan manusia. Menurut Peter Berger (1967 dalam dalam Emerson dan Hartman, 2006) agama adalah sebuah kanopi yang menaungi dan mengatur seluruh kehidupan manusia, dengan munculnya sekularisasi dan modernisasi kanopi ini dihancurkan dan menjadikan agama hanya sebagai satu unsur saja dalam kehidupan manusia. Fundamentalisme mencoba mengembalikan agama sebagai kanopi yang menaungi dan mengatur seluruh kehidupan.
Fundamentalisme ditemukan di dalam semua agama, karena penganut fundamentalisme percaya bahwa hanya ajaran agama yang ia anut sebagai ajaran yang benar dan karena pandangan kebenaran inilah mereka mencoba menerapkannya secara menyeluruh di dalam semua aspek kehidupan. Oleh sebab itu adalah keliru jika mengatakan bahwa fundamentalisme hanya ditemukan dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam.
Selain itu, fundamentalisme juga menafsirkan ajaran agama secara sempit dan menarik orang-orang yang merasa resah dengan sekularisasi dan modernisasi. Fundamentalisme percaya bahwa kondisi sekularisasi dan modernisasi sebagai sesuatu yang godless dan impure, karena itu mereka berniat mengubah kondisi saat ini menjadi kondisi yang disesuaikan dengan ajaran agama. Proses perubahan itu bisa dilakukan secara damai tetapi seringkali juga dilakukan dengan jalan kekerasan.
Emerson dan Hartman (2006) menyatakan bahwa fundamentalisme di dalam semua agama memiliki ciri-ciri yang kurang lebih sama. Ciri tersebut secara umum terbedakan menjadi dua; yaitu ciri ideologis dan ciri organisasional.
Secara ideologis, fundamentalisme memiliki karakter:
  1. Reaktif terhadap marginalisasi agama. Semua gerakan fundamentalisme merasa “gerah” dengan penyingkiran agama ke tepi. Fundamentalisme adalah gerakan yang mencoba menempatkan kembali agama sebagai pusat kehidupan manusia.
  2. Selektif. Semua gerakan fundamentalisme umumnya memilih-milih ajaran agama secara terpotong-potong dan hanya memilih ajaran yang dianggap sesuai dengan tujuan yang ingin diwujudkan.
  3. Pandangan dunia yang dualistik. Fundamentalisme secara simplisitis membagi dunia menjadi dua kutub yang saling berlawanan yaitu yang baik dan jahat, yang benar dan yang salah, kebenaran dan kesesatan, kecelakaan dan keselamatan.
  4. Absolutime dan Ketidakmungkinan Keliru. Fundamentalisme sebagai titik ekstrim dari eksklusivisme meyakini bahwa ajaran agama sebagai sesuatu yang tidak mungkin keliru dan agama mengatur semua aspek kehidupan secara menyeluruh dan tak terbantahkan.
  5. Millenialisme dan Mesianisme. Fundamentalisme meyakini bahwa pada akhirnya hanya golongan yang benarlah yang akan menang dan dunia yang “damai” dan “adil” akan terwujud segera setelah agama kembali menjadi sumber utama kehidupan manusia.
Sedangkan secara organisasional, gerakan fundamentalisme memiliki ciri:
  1. Keterpilihan. Gerakan fundamentalisme meyakini bahwa “perjuangan” yang mereka lakukan adalah “perjuangan” yang suci. Mereka adalah orang-orang yang terpilih, yang mendapatkan “hidayah” dari sang Illahi guna mewujudkan kebenaran di muka bumi.
  2. Adanya batasan yang tajam. Gerakan fundamentalisme secara kaku membagi dunia sebagai dua kutub yang berlawanan sehingga gerakan fundamentalisme memiliki batas-batas yang jelas antara kelompoknya dengan kelompok di luarnya (us versus them)
  3. Otoritatif. Gerakan fundamentalisme umumnya adalah gerakan yang sifatnya absolut dan otoritatif karena keyakinan bahwa apa yang mereka anut adalah kebenaran Ilahiah yang tidak mungkin keliru.
  4. Adanya batasan perilaku. Gerakan fundamentalisme secara ketat mengatur pola perilaku pengikutnya yang dianggap sebagai perilaku yang “benar” sesuai ajaran agama.
Pada dasarnya, gerakan fundamentalisme adalah sebuah ideologi yang bisa dijalankan dengan damai. Akan tetapi, gerakan ini menjadi berbahaya saat menjustifikasi kekerasan sebagai salah satu upaya yang harus ditempuh untuk mewujudkan tujuan Ilahiah yang didasarkan pada keyakinan kebenaran agama yang dianut. Fundamentalisme garis keras ini kemudian mewujud dalam aksi-aksi terorisme dan intoleransi.
Fundamentalisme muncul sebagai reaksi atas proses modernisasi dan sekularisasi yang dianggap mengancam agama. Agama yang dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya benar karena berdasarkan wahyu ilahi tidak boleh disingkirkan dari pusat utama kehidupan manusia. Agama harus menjadi dasar dan bukan hanya bagian saja.
Sebagai sebuah ideologi dan gerakan, fundamentalisme bisa saja mewujud dalam aksi-aksi yang damai seperti gerakan-gerakan puritanisme kristiani dan muslim yang mencoba kembali ke kehidupan yang berpusat pada agama dan sesuai dengan contoh gaya hidup Yesus atau Nabi Muhammad. Tetapi, sering kali juga fundamentalisme berubah bentuk menjadi aksi kekerasan karena pandangan dualistik yang menganggap kelompok di luar mereka sebagai kelompok yang evil dan harus diperangi demi mewujudkan tatanan dunia yang sesuai dengan perintah Ilahi.

Daftar Pustaka
Emerson, M. O., dan Hartman, D. (2006) The rise of religious fundamentalism. Annual review of sociology, 32, 127-144.
Appleby, R. S. dan Marty, M. E. (2002). Fundamentalism. Foreign policy, 128, 16-22.
D’costa, G. (1996). The impossibility of a pluralist view of religions. Religious studies, 32(2), 223-232.
Bakhtiar, A. (2015). Filsafat Agama. Depok: Rajawali  Pers.

Komentar