Desakralisasi Alquran Menurut Mohammed Arkoun
Mohammed Arkoun adalah seorang filsuf muslim kelahiran Algeria pada tahun 1928. Ia adalah salah satu filsuf yang getol mengkaji masalah-masalah ke-Islaman dalam bingkai pemikiran kritis dan terbuka. Ia adalah salah satu tokoh yang menghembuskan reformasi di dalam Islam dengan mengutamakan Islam sebagai ajaran yang sesuai dengan modernitas dan berwajah humanis alih-alih radikal.
Salah
satu bukunya yang berjudul Rethinking Islam
mencoba memberikan kritik dan kajian terkait dengan status Alquran. Sebagai
kita suci, Alquran dalam agama Islam memiliki status yang amat tinggi. Alquran
diposisikan sebagai Kalam atau Wahyu Allah yang kemudian dibukukan dalam bentuk
teks atau mushaf. Menurut Arkoun, posisi yang ditempatkan oleh umat Islam dalam
memandang Alquran sebagai Wahyu Illahi menyebabkan umat Islam melakukan
sakralisasi berlebihan terhadap teks Alquran. Akibatnya umat Islam kehilangan
historisitasnya di dalam melakukan penafsiran terhadap isi kandungan Alquran.
Alquran dianggap sebagai kitab suci yang tidak kontekstual tetapi sebagai kitab
yang berlaku sepanjang zaman. Oleh sebab itu, tidak mungkin ada tafsir
alternatif dalam memahami Alquran.
Sakralisasi
yang berlebihan terhadap Alquran, menurut Arkoun, menjadikan Alquran
disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang sifatnya ideologis dan politik.
Kekerasan, perebutan kekuasaan, debat teologis, hingga penyelesaian
masalah-masalah duniawai selalu menjadikan dalil-dalil Alquran sebagai tameng
dalam membenarkan tindakan dan argumen. Di sini otoritas Alquran sebagai kitab
suci wahyu Illahi seakan-akan menguatkan dan membenarkan semua argumen dan
tindakan.
Menurut
Arkoun, hal ini menjadikan umat Islam sebagai umat yang jumud yang tidak mau
berpikir. Akibatnya umat Islam tidak berdaya menangkap pesan tersembunyi yang
terkandung di dalam Alquran dan tidak bisa bertindak secara lurus atau Hanif
dalam perilaku kesehariannya. Mereka cenderung menerima ajaran Alquran secara
membuat karena keyakinan Alquran sebagai wahyu.
Menurut
Arkoun, Alquran tidak lebih sebagai teks yang sama seperti teks-teks lainnya.
Status Alquran yang disakralkan sebagai kitab suci harus ditangguhkan dahulu
ketika kita melakukan pengkajian Alquran. Di sini Arkoun menyerukan
desakralisasi Alquran.
Alquran
harus dikaji secara historis. Alquran adalah teks yang terbuka tehadap tafsir
dan pemaknaan, bukannya teks tertutup yang kaku. Alquran adalah teks yang
hidup. Pemaknaan terhadap kandungan Alquran bisa berkembang seiring dengan
kondisi suatu budaya dan sosial masyarakat pembacanya. Apabila Alquran didekati
dengan klaim sebagai kitab suci wahyu Illahi, maka kajian kritis terhadap
isinya akan sulit dilakukan. Akan tetapi, apabila Alquran diperlakukan
sebagaimana teks lainnya, yang berarti menghilangkan status sakralnya, maka
segala kajian tafsir dan pemaknaan terhadapnya memungkingkan untuk dilakukan.
Meskipun
Arkoun menawarkan cara pandang baru dalam melihat status Alquran, pendekatan
yang dilakukannya dirasa janggal karena Arkoun memaksakan metodologi Barat
dalam pendekatan Alquran. Padahal di dalam tradisi Islam sendiri sudah terdapat
metodologi yang melakukan kajian terhadap Alquran secara kritis misalnya
melalui pengkajian yang dilakukan oleh aliran pemikiran Mu’tazilah dan
Asy’ariyah. Di sini Arkoun tampak seperti membebek dan meyakini bahwa
pendekatan Barat sebagai satu-satunya cara terbaik dalam melakukan kajian
Alquran dan mengabaikan bahwa dalam tradisi Islam sekalipun terdapat metodologi
yang mampu mengkaji Alquran secara kritis hanya saja dalam arus Islam utama
saat ini metodologi-metodologi ini kemudian tidak menjadi metodologi arus utama
dalam memahami Alquran.
Komentar
Posting Komentar