Manusia, Ruang, dan Waktu Menurut Heidegger

Di dalam metafisika, pertanyaan tentang Ada, ruang, dan waktu adalah pertanyaan yang selalu coba dijawab. Pertanyaan-pertanyaan besar tersebut dijawab oleh berbagai filsuf dari berbagai aliran dan perspektif. Salah satu filsuf yang menjawab pertanyaan-pertanyaan besar dalam metafisika adalah Martin Heidegger.
Martin Heidegger adalah seorang filsuf Jerman yang menjawab pertanyaan metafisika tidak melalui pengasingan atau kontemplasi. Heidegger justru menjawab pertanyaan metafisika tentang Ada, ruang, dan waktu justru melalui keseharian manusia yang justru selama ini sering tidak dipandang oleh pemikiran filsafat. Martin Heidegger menawarkan bahwa pencarian jawaban metafisika justru terletak di sekitar manusia itu sendiri. Keseharian manusia itu dilampaui dan dari situlah maka pertanyaan tentang Ada, ruang, dan waktu bisa terjawab.

Apa (Siapa) Manusia?
Sebelum lebih jauh tenggelam dalam problem metafisika, Heidegger terlebih dahulu ingin menjelaskan apa (siapa) manusia itu? Heidegger di dalam karya besarnya yaitu Sein und Zeit mengatakan bahwa manusia bukanlah sebuah subtansi yang menunjuk pada benda yang memiliki kebendaan. Menurut Heidegger, apabila kita berbicara tentang manusia maka kita berbicara tentang Ada (Sein) dan Mengada (Seindes). Semut di atas piring, gelas di atas meja adalah mengada-mengada (seindes atau jamaknya seiende). Di sini seindes ditopang oleh sein dan mengungkikan seindes yang lain untuk hadir. Sein bersifat melampaui seindes.
Menurut Heidegger, manusia adalah mengada yang menanyakan Adanya, seined yang menanyakan sein-nya. Manusia berbeda seperti gelas yang ada di atas meja yang tentu tak menanyakan mengapa gelas berada di sana. Hanya manusialah yang mampu menanyakan Ada sehingga manusia disebut sebagai mengada yang menanyakan Ada-nya (seined yang menanyakan sein-nya). Maka manusia disebut juga sebagai mengada yang ontologis.
Heidegger dalam menyebut manusia tidak menggunakan kata mensch dalam bahasa Jerman yang berarti manusia, tetapi menggunakan kata Dasein. Secara harafiah dasein berarti berada-di-sana (being there). Manusia dengan begitu saja berada di sana. Di sana dalam maksud Heidegger adalah berada hidup di dunia. Manusia begitu saja terlahir tanpa pernah ditanya terlebih dahulu mau atau tidakkah ia hidup di dunia. Manusia juga tidak tahu dari mana ia berasal dan akan ke mana mengarah dalam hidup. Kondisi inilah yang disebut oleh Heidegger sebagai keterlemparan atau faktizitaet. Di sinilah manusia bertindak sebagai dasein yaitu mengada yang ada di sana dan mencoba memahami keterlemparannya di dunia dengan mempertanyakan Ada-nya tadi.
Ruang
Menurut Heidegger, dasein mengalami keterlemparan dalam dunia atau disebut in der welt sein atau berada-dalam-dunia. Berada dasein dalam dunia berbeda dengan berada gelas dalam ruangan. Pengertian dasein berada di dalam dunia jauh lebih kaya dari beradanya gelas dalam ruangan. Berada dalam dunia menunjukkan adanya sorge atau kepedulian yang menandai hubungan dasein dengan realitas di sekitarnya. Ruang bagi Hiedegger dikonstruksi ulang sebagai tempat. Sebagai contoh, kita melihat pegunungan sebagai realitas yang menampak pada manusia. Realitas pegunungan ini berinteraksi dengan kita secara minimal saat kita melihat pegunungan sebagai realitas yang sama dengan realitas-realitas lainnya yang menampak pada diri dasein. Tetapi, kita juga bisa melihat pegunungan itu sebagai sumber daya yang bisa menghasilkan panas bumi sebagai sumber energi, maka di sini realitas gunung mendapatkan ruang lain bagi dasein.
Realitas pegunungan kemudian bukan hanya realitas yang menampak saja tetapi diberi ruang baru yang disatukan dengan manusia. Di sinilah pegunungan kemudian menempati ruang baru sebagai tempat berada sumber energi. Akan tetapi, sering kali dasein terlalu larut dalam ruang baru dari pegunungan ini sebagai sumber energi sehingga tidak memikirkan kemungkinan lain dari pegunungan yang bisa saja memberikan makna baru bagi dasein. Padahal otentik tidaknya kehidupan dasein terletak dari interaksinya dengan ruang-ruang disekitarnya. Apabila dasein terlalu larut melihat pegunungan hanya sebagai sumber energi dan melupakan kemungkinan lain, maka dasein itu sebenarnya melupakan Ada-nya sendiri.
Waktu
Menurut Heidegger, waktu yang dialami oleh manusia adalah temporalitas. Bagi Heidegger waktu adalah segala kemungkinan yang dimiliki oleh dasein. Bagi Hidegger, dasein selalu menuju satu tujuan yang pasti yaitu kematian, tetapi dalam proses menuju kematian tersebut dasein selalu bisa memiliki segala kemungkinan-kemungkinan untuk mengambil tanggung jawab atas keterlemparannya di dalam dunia. Dasein bisa saja menghabiskan waktunya untuk melacur, berbuat baik, hanya tidur, sekolah atau apa pun sampai dengan kematian tiba. Di sini waktu sepenuhnya dikuasai oleh dasein.
Oleh sebab itu, waktu adalah temporalitas karena sampai dengan saat kematian tiba dasein selalu bergerak dalam waktu tersebut dan pergerakan tersebut adalah segala kemungkinan dari kemungkinan-kemungkinan yang ada bagi dasein. Artinya manusia tidak pernah sepenuhnya selesai, ia selalu berada dalam proses menjadi. Hanya pada saat kematianlah dasein sepenuhnya selesai karena pada saat kematian tertutuplah semua kemungkinan dari kemungkinan yang sebelumnya mungkin. Pada saat kematiannya dasein sepenuhnya menjadi.

Referensi:
Sastraprateja, M. (2014). Historisitas dan hermeneutika. Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Hardiman, F. B. (2008). Heidegger dan mistik keseharian: suatu pengantar menuju sein und zeit. Jakarta: KPG
Wheeler, Michael, "Martin Heidegger", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2015 Edition), Edward N. Zalta (ed.), forthcoming http://plato.stanford.edu/archives/fall2015/entries/heidegger/ Diakses pada 15 September 2015 pukul 18.14
Korab-Karpowicz, W. J. “Martin Heidegger”, Internet Encyclopedia of Philoshophy http://www.iep.utm.edu/heidegge/ Diakses pada 15 September 2015 pukul 18.17

Komentar