Realisme Kritis: Suatu Pendekatan dalam Memahami Realitas

Epistemologi atau filsafat ilmu adalah salah satu cara di dalam filsafat untuk mencapai pemahaman terkait dengan kebenaran pengetahuan. Di dalam epistemologi, semua usaha dikerahkan untuk mencapai satu tujuan yaitu pengungkapan kebenaran (verum). Kebenaran yang coba diungkap ini dilakukan dengan melalui berbagai macam metode yang sering kali satu sama lainnya saling berkontradiksi seperti pendekatan positivisme dan post-positivisme.
Masing-masing sisi mendaku (claim) sebagai metode yang paling tepat dalam memahami realitas guna mencapai kebenaran pengetahuan dan menuduh sisi yang lain sebagai kesesatan metode. Post-positivisme menuduh metode positivisme telah melahirkan berbagai penyakit sosial dan kehancuran politis (Patomaki dan Wight, 2000) karena metodenya yang mengobjektivikasi berbagai hal. Sebaliknya, Positivisme pun menuduh metode post-positivisme sebagai metode yang tidak memberikan sumbangan apapun bagi kemajuan peradaban manusia, menghancurkan standar pendekatan ilmu dengan menawarkan subjektivisme yang berujung pada relativisme yang menyulitkan pada pengambilan kesimpulan dalam penjelasan mengenai realitas.
Positivisme memandang bahwa ada realitas yang independen sehingga pengetahuan adalah turunan dari kenyataan yang objektif di luar sana (knowledge of reality is directly derived from an independent world out there). Sebaliknya, post-positvisme memandang bahwa tidak ada realitas yang independen, realitas adalah buah dari diskursus sehingga realitas yang objektif tidak pernah ada, yang ada adalah realitas yang subjektif. Dua pandangan yang bertentangan ini kemudian disintesiskan oleh metode Konstruktivisme (constructivism). Konstruktivisme mengatakan bahwa peran manusia (sebagai peneliti yang mencoba memahami) dalam membangun teori adalah pada tahap menjelaskan (the act of describing). Konstruktivisme menyatakan bahwa struktur dalam memahami realitas bukanlah sesuatu yang independen dari subjektivisme pengamat tetapi merupakan struktur yang dibangun oleh pengamat (konstruksi pengamat) walaupun konstruktivisme masih mengamini adanya suatu realitas yang independen. Di sini tampak sekali bahwa posisi konstruktivisme adalah di tengah antara positivsme dan post-positivisme. Konstruktivisme mempercayai adanya keterbelahan antara subjektivisme dan objektivisme dalam menjelaskan realitas demi mencapai kebenaran.
Akan tetapi, posisi titik tengah yang diambil oleh konstruktivisme dianggap sebagai jalan yang keliru oleh pendekatan realisme kritis. Realisme kritis menolak sepenuhnya pembedaan dan keterbelahan antara subjektivisme dan objektivisme. Realisme kritis justru mengungkapkan bahwa positivisme dan post-positivisme bukanlah dua pandangan yang saling bertolak belakang sehingga perlu dilakukan sintesis seperti yang dilakukan oleh Konstruktivisme. Realisme kritis berpandangan bahwa pendekatan positivisme dan post-positivisme membagi kesamaan satu sama lain (share much in common). Realisme kritis memandang tidak perlu adanya konstruktivisme, karena realisme kritis memandang adanya hubungan yang contingent antara fenomena yang diamati dengan struktur yang melingkupi fenomena tersebut dan realitas yang independen tetap sesuatu yang ada dan tidak berubah (Mir dan Watson, 2001).
Realisme Kritis
Realisme kritis berangkat dari pandangan yang dibangun oleh para realis yang menyatakan bahwa realitas bisa dipahami secara langsung melalui proses persepsi dan sensasi. Realis memandang bahwa realitas bisa dengan mudah ditangkap oleh panca indera manusia. Inilah yang kemudian disebut sebagai realisme naïve.
Akan tetapi, realisme naïve ini mengalami kesulitan dalam menjelaskan adanya perbedaan dalam penyerapan realitas yang ditangkap melalui persepsi dan sensasi dan persis pada titik inilah realisme kritis masuk.
Realisme naïve kemudian secara radikal berkembang menjadi metode positivisme yang menyatakan bahwa realitas bisa ditangkap secara objektif dan pihak-pihak yang keberatan dengan dakuan ini kemudian mengembangkan pendekatan post-positivisme yang menyatakan bahwa penyerapan realitas bersifat relatif oleh sebab itu realitas yang objektif tidak pernah ada yang ada hanyalah realitas yang subjektif.
Realisme kritis tidak sepakat dengan pembedaan objektivisme dan subjektivisme realitas. Realisme kritis berdiri pada 3 titik pokok utama yaitu: (1) mental existence, (2) external existence, dan (3) essence. Eksistensi mental adalah pokok yang membangun subjektivisme yaitu kondisi saat realitas ditangkap melalui sensasi dan persepsi. Eksistensi eksternal adalah cara realitas ditangkap oleh kita dan Esensi adalah realitas objektif yang menampak pada kita. Menurut Bode (1922):
…essences are the meanings or contents which external existences become known.
Di sini, esensi adalah adjektiva yang mengambang (floating adjectives) yang mewujud dalam eksistensi ekternal yang ditangkap oleh pengamat melalui eksistensi mentalnya. Realisme kritis oleh sebab itu menolak argumen Kantian yang menyatakan bahwa realitas (noumena) tidak dapat ditangkap oleh pengamat. Realitas adalah sesuatu yang mengambang (floating adjectives) yang bisa diketahui oleh pengamat melalui eksistensi mentalnya.
Realisme kritis mengungkapkan bahwa dunia (atau realitas) tidak hanya terdiri dari kejadian (event), pengalaman (experience), impresi dan diskursus tetapi juga terdiri dari struktur dan kekuasaan yang bisa jadi tidak disadari oleh pengamat saat ia mempersepsi dunia (realitas) yang mewujud dalam eksistensi eksternal (Patomaki dan Wight, 2000). Lebih jauh Patomaki dan Wight (2001) mendefinisikan realisme kritis sebagai suatu metode yang:
… committed to ontological realism (that there is a reality which is differentiated, structured, and layered, and independent of mind), epistemological relativism (that all beliefs are socially produced and hence potentially fallible), and judgmental rationalism (that despite epistemological relativism, it is still possible in principle to provide justifiable grounds for preferring one theory over another).
Realisme Kritis dan Konstruktivisme
Sering kali, pendekatan realisme kritis dianggap sebagai hal yang sama dengan konstruktivisme. Realisme kritis dan konstruktivisme dianggap memiliki kesamaan-kesamaan di antara keduanya. Baik Patomaki dan Wight (2000) dan Mir dan Watson (2001) menyatakan bahwa realisme kritis adalah suatu hal yang berbeda dengan konstruktivisme. Perbedaan yang pertama adalah terkait perbedaan posisi antara realisme kritis dan konstruktivisme dalam memandang pertentangan antara positivisme dan post-positivisme.
Konstruktivisme meyakini adanya keterbelahan antara subjektivisme dan objektivisme dalam memandang realitas dan mencoba mensintesiskan keduanya, sebaliknya realisme kritis tidak meyakini adanya keterbelahan ini. Menurut realisme kritis tidak pernah ada pembedaan subjektivisme dan objektivisme dalam memahami realitas. Realitas adalah sesuatu yang terdiri dari aspek material dan ideasional yang tidak pernah bisa terdistingsi dengan jelas. Percobaan untuk membedakan aspek-aspek material dan ideasional dalam memahami realitas adalah suatu percobaan yang problematis apalagi kemudian mensintesiskannya seperti yang dilakukan oleh konstruktivisme karena pembedaan itu tidak pernah ada. Realitas harus dipandang sebagai sesuatu yang menyeluruh (as a whole).
Perbedaan kedua antara realisme kritis dan konstruktivisme adalah terkait dengan pandangan terkait realitas. Realisme kritis berpendapat bahwa ketidakmampuan kita dalam mempersepsi realitas secara utuh dan menyeluruh bukan disebabkan karena realitas adalah sesuatu hal yang sifatnya subjektif tetapi semata-mata karena kita kekurangan pemahaman terkait dengan fenomena yang kita persepsikan (lack of understanding of phenomena). Sementara itu, konstruktivisme berpendapat bahwa ketidakmampuan kita dalam mempersepsi realitas secara utuh disebabkan karena realitas tergantung dari konteks dan perspektif dari si pengamat saat ia melihat fenomena. Lebih jauh, Mir dan Watson (2001) mengkontraskan antara konstruktivisme dan realisme kritis seperti dalam tabel 1:
Tabel 1: Kontras antara Realisme Kritis dan Konstruktivisme
Realism
Constructivism
Nature of observed reality
Partial but immutable
Socially constructed
Role of Manager
Reactor, information processor
Actor, generator of context
Nature of strategic choice
Boundedly rational response to contingencies
Ideological actions of sub-organizational interest groups
Organizational Identity
Overt, singular
Multiple, fragmented
Theories of measurement
Replication as key to   accuracy
Context as the key to   perspective

Dari tabel di atas terlihat jelas posisi realisme kritis dibandingkan dengan konstruktivisme. Bagi realisme kritis realitas adalah sesuatu yang terbedakan namun saling terkait (differentiated yet interconnected). Mir dan Watson (2001) dengan tegas menyatakan bahwa critical realism is not the same as constructivism. Konstruktivisme dan realisme kritis mempunyai titik pijak dan titik berangkat yang berbeda, sehingga pemahaman terkait realitas pun akan berimplikasi berbeda antara kedua metode tersebut. Akan tetapi, realisme kritis dianggap sebagai metode yang lebih mampu menawarkan kemajuan dalam pemahaman akan realitas dibandingkan dengan konstruktivisme karena realisme kritis berpegang pada replikasi untuk mengkoreksi kekeliruan saat kita mempersepsi realitas untuk mencapai pemahaman yang utuh dan menyeluruh.
Sebagai sebuah metode, realisme kritis berakar dari pandangan realisme yang menyatakan bahwa ada realitas di luar sana. Realisme yang kemudian berkembang menjadi positivsime yang menekankan pada objektivisme dalam memahami realitas dibantah oleh realisme kritis. Menurut realisme kritis pemahaman akan realitas selalu merupakan pemahaman akan aspek-aspek yang bersifat material dan ideasional dari dunia. Oleh sebab itu, positivisme yang hanya memfokuskan pada sisi yang materi dianggap tidak tepat.
Realisme kritis pun sebagai sebuah metode tidak bisa disamakan dengan konstruktivisme karena adanya titik pijak yang berbeda. Di awal konstruktivisme sudah menyatakan bahwa ada keterbelahan antara subjektivisme dan objektivisme dalam memahami realitas dan konstruktivisme mencoba mensintesiskan keduanya dan menyatakan bahwa pemahaman akan realitas adalah akibat perbedaan dalam konteks dan perspektif. Sementara realisme kritis dengan jelas tidak mengakui distingsi antara subjektivisme dan objektivisme dalam memahami realitas sehingga usaha sintesis keduanya adalah usaha yang keliru. Realitas harus dipahami secara utuh bukan sebuah sistem yang tertutup. Adanya ketidakmampuan dalam memahami realitas bisa jadi dikarenakan adanya kekurangan pemahaman si pengamat akan realitas yang sedang ia pahami sehingga yang perlu dilakukan adalah menambah pemahamnnya tersebut dengan proses replikasi sehingga realitas bisa diproyeksikan secara akurat.

Referensi
Bode, B. H. (1922). Critical realism. The journal of philosophy, 19(3), 68-78.
Mir, R. dan Watson, A. (2001) Critical realism and constructivism in strategy research: toward a synthesis . Strategic management journal, 22(12), 1169-1173.
Patomaki, H. dan Wight, C. (2000). After postpositivism? The promises of critical realism. International studies quarterly, 44(2), 213-237.

Komentar

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.cc
    dewa-lotto.vip

    BalasHapus

Posting Komentar