Memaknai Film Dancer in The Dark

Film Dancer in the Dark merupakan sebuah film musikal yang digarap oleh Lars von Trier seorang sutradara dari Denmark. Bintang utama film ini adalah penyanyi asal Islandia, yaitu Bjork yang memerankan tokoh Selma seorang imigran asal Ceko yang tinggal di Amerika Serikat.
Film ini berputar pada kisah kehidupan Selma yang pahit. Ia bekerja sangat keras mengumpulkan uang karena ia menyadari bahwa dirinya mewarisi penyakit degeneratif berupa kebutaan. Penyakit ini juga ditengarai akan menimpa anaknya yang bernama Gene sehingga Selma berusaha mengumpulkan uang supaya anaknya bisa dioperasi dan terhindar dari penyakit ini. Seiring waktu berjalan, Selma pun mengalami kebutaan.
Selma mempunyai seorang tetangga bernama Bill yang begitu ia percayai tetapi kemudian mengkhianatinya. Bill mencuri uang tabungan Selma, uang yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit demi operasi anaknya. Selma kemudian meminta secara baik-baik uang tersebut kepada Bill, tetapi Bill menolak dan malah meminta Selma untuk membunuhnya apabila ingin uangnya kembali. Dalam keputusasaan akhirnya Selma membunuh Bill demi mendapatkan uangnya kembali.
Sebagai akibat dari pembunuhan yang dilakukan oleh Selma, ia masuk penjara. Di pengadilan Selma berbohong untuk melindungi kehormatan Bill meskipun Bill telah mengkhianatinya. Akibatnya Selma kemudian dijatuhi hukuman mati. Pada saat sahabat Selma yaitu Kathy tahu cerita sebenarnya dari kasus ini, ia meminta Selma untuk mengajukan banding. Tetapi pengacara yang akan membela Selma meminta bayaran yang tinggi. Selma menolak membayar pengacara tersebut dan lebih memilih uangnya dipakai untuk membiayai operasi mata Gene. Selma memutuskan mengorbankan dirinya untuk dihukum mati demi menyelamatkan penglihatan anaknya. Di akhir cerita, Selma kemudian dihukum mati.

Film ini dipenuhi dengan kesedihan dari awal sampai akhir cerita. Sang sutradara seolah tidak memberikan jeda bagi penontonnya untuk berbahagia. Adegan demi adegan ditampilkan untuk menarik simpati penonton terhadap nasib Selma sang tokoh utama.
Apabila ditelaah lebih mendalam secara filosofis, film ini seolah-olah bercerita tentang pemikiran Immanuel Kant. Menurut Kant, dalam hidupnya manusia selalu menanyakan 3 pertanyaan mendasar: “Apa yang dapat kuketahui?”, “Apa yang seharusnya kulakukan?”, dan “Apa yang mungkin kuharapkan?” (Jankowiak, 2015).
Untuk menjawab pertanyaan pertama “Apa yang dapat kuketahui?”, Kant menjawab bahwa manusia hanya dapat mengetahui alam yang menampak dan dapat diamati. Tetapi, kita tidak akan pernah mampu menjawab apa yang ada dibalik hal-hal yang menampak pada kita tersebut. Pertanyaan-pertanyaan metafisika yang menanyakan yang Ada dibalik yang nampak sulit untuk dijawab manusia. Begitu pula dalam film Dancer in the Dark, Selma hanya tahu pada awalnya bahwa Bill adalah temannya yang kemudian mengkhianatinya. Selma tidak memahami hakikat pertemanan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh Bill. Selma hanya mampu mengartikan hal-hal yang dia alami dalam hidupnya sebagai kepahitan. Di dalam film ini Selma tidak mempertanyakan mengapa misalnya hidupnya penuh dengan kepahitan. Saat matanya menjadi buta, saat Bill mencuri uangnya, saat Selma harus menghadapi hukuman mati ia hanya menghadapi itu semua. Selma tidak lari ke dalam pertanyaan metafisika mengenai hal-hal dibalik nya.
All our cognition starts from the senses, goes from there to the understanding,and ends with reason, beyond which there is nothing higherto be found in us to work on the matter of intuition and bring it underthe highest unity of thinking.(Kant, Critics of Pure Reason)
Menurut Kant, pemahaman kita dimulai dari sensasi dan berakhir dalam reason. Artinya pengetahuan dibentuk melalui sintesis antara sensasi yang menampak pada kita dan reason yang ada dalam kepala kita. Hal-hal dibalik itu, yang berupa pertanyaan-pertanyaan metafisika dianggap tidak bisa dijawab. Kant menjawab bahwa hakikat dari hal-hal atau dalam bahasanya dia Das ding an sich tidak pernah bisa diketahui manusia. 
Pertanyaan kedua yang berbunyi: “Apa yang seharusnya kulakukan?” dijawab oleh Kant melalui prinsip categorical imperative atau imperatif kategoris. Imperatif kategoris adalah prinsip moral yang menyatakan bahwa manusia harus menghormati kemanusiaan (humanity) manusia lain dan bertindak sesuai dengan hukum-hukum moral yang berlaku universal (Hawasi, 2003). Menurut Kant, hukum moral yang bersifat imperatif kategoris adalah kebenaran dari reason manusia dan oleh karenanya semua manusia yang memiliki reason terikat pada hukum moral yang sama. Oleh sebab itu, hukum moral bersifat universal. Karena itu, pertanyaan “Apa yang seharusnya kulakukan?” dijawab oleh Kant: Manusia harus bertindak secara rasional sejalan dengan hukum moral yang sifatnya universal.
Di dalam film Dancer in the Dark, Selma melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan dirinya seperti bekerja keras meskipun dia buta, membunuh Bill demi merebut haknya yang dirampas, berbohong di pengadilan demi menyelamatkan kehormatan Bill, dan memilih mati demi Gene anaknya. Perbuatan-perbuatan ini menurut Kant adalah perbuatan yang bermoral apabila maksim dari perbuatan tersebut berlaku sebagai hukum universal. Berlaku sebagai hukum universal artinya bahwa setiap manusia yang memiliki reason pasti akansampai pada kesimpulan yang sama terkait perbuatan tersebut. Di sini Kant berpendapat bahwa perbuatan baik itu tidak dilihat dari dampak yang ditimbulkannya tetapi karena perbuatan itu baik pada dirinya.Kebaikan di satu ruang dan waktu tertentu maka merupakan kebaikan juga di ruang dan waktu yang lain. Berbeda dengan prinsip kebaikan aliran consequentialist yang melihat baik dan buruk dari akbiat yang ditimbulkan, maka Kant berpendapat bahwa kebaikan itu bersifat tetap. Karena kebaikan adalah kebenaran yang dihasilkan oleh akal budi (reason) dan oleh karena itu setiap manusia menjadi terikat karena sifat universalitas dari moralitas. Kebaikan bisa diterapkan dan dilakukan secara sama kepada semua orang tanpa memandang latar belakang dan kisah-kisah dibaliknya (Gomberg, 1994). Moralitas tidak mempertimbangkan perbedaan-perbedaan manusia dan hanya memandang manusia sebagai manusia tanpa embel-embel di belakangnya.
Sebagai contoh dalam film Dancer in the Dark, Selma memilih untuk mati demi anaknya. Di sini nilai cinta ibu terhadap anak adalah nilai yang digambarkan sebagai nilai yang universal. Dalam artian bahwa cinta adalah sesuatu yang baik dalam dirinya sendiri. Menerima hukuman mati demi cinta ibu pada anak adalah hukum moral yang bersifat universal. Setiap orang yang memiliki reason pasti akan sampai pada kesimpulan serupa apabila ia berada dalam posisi Selma. Maksim dari perbuatan Selma bisa diuniversalkan dan menjadi hukum alam yang berlaku dimana-mana.
Pertanyaan ketiga yang sering diajukan manusia dalam hidupnya adalah: “Apa yang mungkin kuharapkan?”. Kant menjawab bahwa kita berharap bahwa akan adanya kebebasan, adanya keabadian jiwa, dan adanya Tuhan. Terkait dengan pertanyaan kedua tentang: “Apa yang seharusnya kulakukan?” maka Kant menjawab: Manusia harus bertindak secara rasional sejalan dengan hukum moral yang sifatnya universal. Jawaban ini membawa konsekuensi pada pertanyaan ketiga terkait dengan apa yang mungkin kuharapkan dari perbuatan baik tersebut. Menurut Kant, apa yang bisa diharapkan adalah kebebasan. Apabila manusia harus bertindak secara rasional sejalan dengan hukum moral, maka hal ini harus didasari dengan asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang bebas. Apabila tidak ada kebebasan maka tidak akan ada kewajiban. Suatu hal menjadi wajib dilakukan karena ada kebebasan untuk tidak melakukannya. Apabila manusia tidak bebas memilih dalam hidupnya atau dalam kata lain terdeterminasi maka kewajiban menjadi tidak relevan. Manusia secara otomatis akan melakukan hal yang sebelumnya sudah digariskan padanya. Oleh karena manusia bebas untuk melakukan atau tidak melakukan kebaikan maka kemudian justru muncul kewajiban untuk melakukan kebaikan. Hal ini juga tercermin dalam film Dancer in the Dark. Selma secara bebas melakukan kebaikan yang menjadi kewajibannya seperti mengorbankan dirinya demi cinta pada anaknya.
Hal kedua menjawab pertanyaan “Apa yang mungkin kuharapkan?” adalah harapan akan keabadian jiwa. Hukum moral bertujuan untuk mencapai kebaikan tertinggi (summum bonum). Akan tetapi, di dalam dunia ini kebaikan tertinggi tidak akan pernah terwujud tetapi toh tidak berarti bahwa hukum moral kemudian hilang. Kebaikan selalu ada sejak dulu, sekarang, nanti sampai dengan segala abad. Kebaikan selalu ada di sana dan akan tetap ada di sana selama masih ada ras manusia.Oleh sebab itu, maka jiwa harus abadi supaya “summum bonum” itu tercapai (Sitorus, 2007). Karena hanya dalam keabadianlah kebaikan tertinggi mungkin terwujud, manusia berbuat baik dengan harapan bahwa kelak apa yang dia lakukan mewujudkan kondisi summum bonum tersebut dan kondisi tersebut tidak tercapai di dalam dunia yang fana.
Hal ketiga menjawab pertanyaan “Apa yang mungkin kuharapkan?” adalah harapan akan adanya Tuhan. Apabila kita bertindak sesuai hukum moral maka akan membawa kita pada keutamaan dan keutamaan akan membawa kita pada kebahagiaan dan kebahagiaan adalah kondisi di mana terdapat kesesuaian antara alam fisik dengan kehendak dan keinginan. Dan yang memiliki kesesuaian ketiga elemen ini adalah Tuhan. Maka, dengan berbuat baik kita akan sampai pada realitas keberadaan Tuhan. 
Di dalam film ini, jelas sekali bahwa Selma memiliki harapan-harapan tersebut. Ia rela mati demi anaknya karena berharap bahwa anaknya akan hidup jauh lebih baik, pilihan yang dilakukan oleh Selma adalah pilihan bebas. Meskipun Kathy membujuknya untuk membayar pengacara yang akan membebaskannya tetapi Selma menolak. Selma dengan bebas memilih mengorbankan dirinya bagi anaknya. Apa yang dilakukan Selma adalah mewujudkan kondisi kebaikan tertinggi (summum bonum) yang meskipun tidak bisa ia saksikan selama ia hidup tetapi ia yakini bisa ia rasakan bahkan setelah tidak ia hidup. Di akhir cerita Selma menyanyikan lagu yang tidak selesai dan kemudian di akhir film muncul bait terakhir yang menyelesaikan lagu Selma yang berbunyi:
They say it's the last song
They don't know us, you see
It's only the last song
If we let it be.
Lagu itu menutup kesimpulan bahwa, seolah-olah ini adalah lagu terakhir atau akhir dari hidup dan kehidupan (they say it’s the last song). Padahal ini bukanlah akhir dari kehidupan, karena setelah kehidupan masih ada pengharapan akan sebuah kehidupan yang lain yang lebih baik dan abadi. Seperti merujuk pada pendapat Kant, bahwa apa yang mungkin diharapkan dari manusia akan hidupnya adalah adanya kemungkinan harapan akan kehidupan lain yang lebih baik dan abadi.
Mereka tidak mengetahui kita dan hakikat dibalik segala sesuatu (they dont know us, you see) seperti yang dikatakan Kant, manusia hanya mampu memahami hal-hal yang menampak pada dirinya dan tidak pernah tahu substansi atau hakikat di luar apa pun yang menampak pada dirinya. Manusia hanya mampu memberinya makna.
Ini hanya menjadi lagu terakhir apabila kita membiarkannya menjadi lagu yang terakhir (it’s only the last song if we let it be) berarti bahwa Selma menganggap kematiannya sebagai akhir dari segalanya hanya apabila ia berpikir seperti itu. Apabila Selma berhenti berharap bahwa Gene, anaknya, akan mengalami kehidupan yang lebih baik dari dirinya. Justru dengan kematiannya Selma membuka lembaran baru dalam “hidupnya” dan hidup anaknya. Kematiannya adalah akhir hanya apabila Selma tidak lagi memiliki harapan setelah kematiannya.
Film ini menawarkan renungan-renungan filosofis yang bersifat melampaui hal-hal yang hanya kita lewati dalam hidup dan memikirkan secara jauh lebih dalam apa sebenarnya makna terdalam dari hidup itu sendiri. Renungan-renuangan metafisika yang selalu mempertanyakan apa yang ada dibalik segala sesuatu secara padat disajikan dalam film ini dalam berbagai simbol-simbol yang bisa diartikan berbeda-beda. Penafisiran yang berbeda terhadap simbol-simbol tersebut seakan memberikan gambaran bahwa memang hidup yang sama bisa dimaknai secara berbeda-beda. Peristiwa yang sama bisa berkesan berbeda-beda.

Referensi:
Hawasi. (2003). Immanuel Kant: Langit Berbintang di Atasku Hukum Moral di Batinku. Jakarta: Poliyama Widyapustaka.
Gomberg, P. (1994). Universalism and Optimism. Ethics. Vol. 104, No. 3, pp. 536-557
Jankowiak, T. (2015). Immanuel Kant, The Internet Encyclopedia of Philosophy, ISSN 2161-0002, http://www.iep.utm.edu/kantview/print diakses pada 7 Oktober 2015, pukul 18.09 WIB
Kant, I. (1998). Critique of pure reason edited by Paul Guyer and Allen W. Wood. Cambridge: Cambridge University Press.
Sitorus, Fitzgerald K. (2007). Immanuel Kant: Tuhan sebagai Postulat Akal Budi Praktis. Paper Diskusi Tuhan dan Agama di Mata Para Filsuf. PSIK Universitas Paramadina.

Komentar