Teologi Pembebasan
Teologi pembebasan menjadi suatu gerakan yang
populer di Amerika Latin mulai era tahun 1960-an. Gerakan ini merupakan gerakan
yang unik karena merupakan sebuah sintesis antara gerakan keagamaan dan gerakan
kiri (Marxis) yang selama ini selalu diyakini sebagai 2 hal yang mustahil bisa
menyatu.
Teologi pembebasan, seperti asal katanya;
teologi, adalah sebuah gerakan yang diawaki oleh para padri gereja dan
serikat-serikat keagamaan (ordo-ordo) nasrani, terutama Katolik. Meskipun
diawaki oleh kalangan agamawan, teologi pembebasan banyak terinspirasi oleh
ide-ide Marxisme. Dalam pegerakannya, teologi pembebasan banyak berfokus pada
revolusi sosial dan perubahan tatanan masyarakat secara radikal. Teologi
pembebasan tampil sebagai pelopor penentangan terhadap hegemoni lembaga politik
dan ekonomi yang bersifat eksplotatif, kapitalis, dan menyengsarakan rakyat
kecil. Pembangunan di banyak negara Amerika Latin ternyata bersifat semu dan
meminggirkan rakyat banyak, serakah, hanya menguntungkan segelintir elit, serta
manipulatif. Berangkat dari kenyataan sosial inilah kemudian gerakan teologi
pembebasan berkembang yang pada awalnya adalah sebuah gerakan moral kaum
agamawan yang mengkritisi penghisapan dan kesengsaraan masyarakat di Amerika
Latin.
Marxisme, yang menjadi inspirasi gerakan ini,
adalah sebuah ideologi yang sangat alergi dan antipati terhadap agama. Marxisme
mengutuk agama dan lembaga agama sebagai ‘candu masyarakat’. Penganut Marxisme
yakin bahwa agama adalah keluh kesah orang tertindas. Agama adalah candu yang
meninabobokan masyarakat sehingga tidak menyadari ketertindasan mereka.
Agama membuat masyarakat pasrah akan kondisi mereka dan menganggapnya sebagai
takdir. Alih-alih berjuang melawan ketertindasannya, agama mengiming-imingi
pemeluknya untuk sabar dan lebih memilih surga sebagai balasan atas
kesabarannya. Hal ini membuat para penganut Marxisme yang percaya kepada praksis
nyata menjadi geram. Dari sinilah kemudian Marxisme mencoba menyingkirkan agama
dalam gerakan perjuangan mereka. Kaum Marxis percaya bahwa agama tidak akan
pernah bisa mengubah masyarakat, suatu hal yang dicita-citakan para Marxis.
Akan tetapi, apabila dicermati dengan lebih
seksama, Karl Marx yang melahirkan ideologi Marxisme tidak pernah antipati
kepada agama per se. Kritik Karl Marx lebih kepada praktik agama, lembaga
agama, dan pemuka agama yang licik dan manipulatif. Marx mengkritik bahwa agama
ternyata tidak mampu menyejahterakan masyarakat. Marx tidak mengkritik agama
sebagai suatu sistem kepercayaan atau sistem rohani, tetapi agama sebagai
sebuah institusi sosial. Oleh sebab itu, maka kemunculan teologi pembebasan
yang mengambil inspirasi dari Marxisme bukanlah sesuatu hal yang ‘ajaib’.
Lebih-lebih gerakan teologi pembebasan ini pun muncul dari agamawan yang
dianggap ‘orang pinggir’ bukan dari agamawan yang berada di ‘pusat kekuasaan’.
Teologi pembebasan ini justru mengguncangkan tatanan lembaga kependetaan karena
mengkritik kekuasaan mereka sehingga Vatikan pun sebagai pusat tertinggi
lembaga keagamaan Katolik memberikan reaksi negatif terhadap gerakan ini.
Agamawan yang terlibat dalam gerakan teologi pembebasan adalah para agamawan
yang berada di tengah masyarakat dan menyaksikan keluh kesah dan ketidakadilan
yang dialami oleh mereka. Bukan pada agamawan yang berada di balik
dinding-dinding dan hierarki gereja.
Menurut Michael Lowy (2013), mengutip dari
Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah pantulan pemikiran, sekaligus cerminan
dari keadaan nyata, suatu praksis bukan hanya teori. Teologi pembebasan adalah
suatu gerakan sosial yang melibatkan sektor-sektor penting dari gereja, para
pastor, para anggota serikat agama, para uskup, gerakan-gerakan keagamaan orang
awam, serta kelompok-kelompok masyarakat berbasis gereja. Mereka semua
bergabung untuk menentang penghisapan dan penindasan yang didasari oleh nalar
moral dan kerohanian dalam tradisi iman Katolik.
Teologi pembebasan memiliki arah perjuangan
untuk menggugat ketergantungan kepada kapitalisme yang dianggap sebagai suatu
sistem yang tidak beradab, tidak adil, dan suatu bentuk dosa struktural. Inti
ajaran teologi pembebasan menekankan pada penggunaan alat analisis Marxisme
dalam rangka memberikan pemahaman akan akar-akar kemiskinan, pertentangan dalam
kapitalisme, dan analisis kelas. Gerakan ini fokus kepada perjuangan orang
miskin dengan cara pengembangan basis-basis kelompok masyarakat Katolik sebagai
suatu bentuk baru gereja dan alternatif dari cara hidup individualis yang
dipaksakan oleh kapitalisme.
Teologi pembebasan menawarkan pembacaan baru
terhadap kitab suci dan terutama menekankan kesamaan perjuangan kisah-kisah
dalam Alkitab dengan perjuangan rakyat miskin Amerika Latin sebagai perjuangan
meraih kebebasan dan persamaan dengan dilandasi cinta kasih dan kemanusiaan.
Gerakan ini juga menentang pemujaan terhadap uang, kekuasaan, kekayaan,
kemananan nasional, militer, dan peradaban Kristen Barat yang kapitalis sebagai
berhala baru layaknya patung sapi yang dahulu disembah oleh pengikut Nabi Musa
yang sesat. Berhala-berhala baru tersebut adalah musuh agama yang harus
dihancurkan layaknya Nabi Musa menghancurkan patung sapi dan menyatakan bahwa
hanya Tuhan-lah, bukan uang dan sejenisnya yang seharusnya menjadi tujuan hidup
manusia. Gerakan ini menjadi suatu revolusi yang mengguncang Amerika Latin dan
bertahan hingga tahun 1990-an. Gerakan ini menunjukkan kebusukan agama sebagai
institusi sosial yang diperalat oleh kekuasaan ekonomi dan politik. Gerakan ini
mencoba mengembalikan agama (Katolik) ke posisinya yang semula sebagai alat
revolusi masyarakat dengan berdasarkan cinta kasih sesuai dengan ajaran Yesus.
Gereja bukan sebagai alat pengesah kekuasaan yang korup, gereja justru harus
menjadi benteng bagi orang miskin. Agama memang harus bersifat revolusioner.
Lowy, Michael. (2013). Teologi Pembebasan Kritik
Marxisme dan Marxisme Kritis. Yogyakarta: Insist Press.
Terimakasih telah mengulas buku terbitan INSISTPress. Rehal buku ikut ditautkan di link ini: http://insistpress.com/katalog/teologi-pembebasan-kritik-marxisme-marxisme-kritis/
BalasHapus