Mengenal Ajaran Buddhisme

Buddhisme sering kali disalahpahami. Banyak orang yang kurang paham dengan ajaran ini dan kemudian jatuh pada penilaian simplisitis dan cenderung fatal. Buddhisme sering kali dicap sebagai agama pengkultusan terhadap sosok Sang Buddha atau bahkan dianggap sebagai agama penyembah berhala. Itu merupakan tuduhan serius yang harus ditanggapi dengan serius pula. Akan tetapi, apabila kita mempelajari ajaran Buddhisme maka dengan sendirinya tuduhan tadi akan gugur. Buddhisme bahkan lebih dari sekedar agama, tapi juga ajaran dan falsafah hidup (lebenphilosophy). Setiap orang bisa menerapkan ajaran Buddhisme meskipun memiliki keyakinan teologis yang berbeda.
Pengkultusan terhadap Sang Buddha sebenarnya tidak pernah diajarkan oleh Sang Buddha sendiri. Sepanjang kehidupannya Sang Buddha tak henti-hentinya menentang kultus individu terhadap dirinya dan tak henti-hentinya pula menolak perhatian yang diberikan para pengikutnya terhadap dirinya (Armstrong, 2005). Sang Buddha selalu menekankan bahwa manusia harus memotivasi dirinya sendiri dan berusaha sendiri dalam mendapatkan pencerahan serta tidak menggantungkan diri pada tokoh/pemimpin agama karismatik atau siapa saja selain diri kita sendiri. Ada pun yang dilakukan para pengikut Buddha saat ini adalah bukan penyembahan terhadapnya, tetapi lebih merupakan penghormatan (bhakti) terhadap Sang Buddha sebagai guru yang telah mengajarkan cara-cara untuk meraih pencerahan.

Konsep ketuhanan dalam Buddhisme juga sangat jauh berbeda dengan konsep ketuhanan yang dikenal oleh para penganut tradisi agama monoteis (Yahudi, Kristen, Islam). Perbedaan inilah yang juga sering disalahpahami oleh banyak orang yang tidak memahami ajaran Buddhisme. Dalam tradisi monoteis, Tuhan digambarkan sebagai sosok yang memiliki pribadi (persona). Tuhan memiliki kehendak, kuasa, berfirman, dan lain sebagainya. Karena Tuhan merupakan sebuah sosok pribadi (persona), maka agama monoteis selalu menekankan hanya ada satu Tuhan. Tidak ada Tuhan yang lain. Tidak ada persona yang lain. Sedangkan dalam konsep Buddhisme, Tuhan adalah Yang Mutlak yang tidak bisa digambarkan dan tidak bisa didefinisikan dalam kata-kata apa pun. Tuhan tidak dapat masuk dalam konsep bilangan satu atau lebih dari satu. Tuhan adalah sunya. Tak terkatakan. Sang Buddha tidak pernah menjelaskan tentang Yang Mutlak itu sendiri. Sang Buddha lebih menekankan ajaran tentang cara mencapai kondisi nibbana yaitu suatu kondisi yang tercerahkan dan terbebas dari derita (dukkha) bukan penyembahan kepada Tuhan yang persona seperti dalam ajaran-ajaran agama monoteis. Dari sinilah pangkal kesalahpahaman orang-orang yang menganggap ajaran Buddhisme adalah sebuah ajaran penyembahan terhadap Sang Buddha dan menganggap Sang Buddha sebagai Tuhan. Padahal jelas-jelas Sang Buddha bukanlah Tuhan dan tidak pernah mengajarkan ajaran yang menyatakan bahwa dirinya adalah Tuhan.
Inti Ajaran Buddhisme
Di bagian pendahuluan telah sering disebut Sang Buddha. Lalu siapakah Sang Buddha itu sendiri?
Sang Buddha yang dimaksudkan di atas adalah Sidharta Gautama. Ia hidup dalam kurun waktu kurang lebih abad ke-6 hingga ke-5 sebelum masehi (Armstrong, 2005). Ia adalah seorang pangeran di sebuah negeri di India Utara modern saat ini yang bernama Kapilawastu. Sebagai seorang pangeran, ia mengalami ketidaktenangan batin dan kemudian menanggalkan atribut kebangsawanannya untuk menjadi pertapa. Ia kemudian berkelana untuk menemukan hakikat kebahagiaan. Ia melakukan pertapaan mulai dari pertapaan biasa sampai dengan pertapaan ekstrim dengan cara menyiksa diri. Pencariannya akan hakikat kebahagian itu diperoleh ketika ia melakukan pertapaan di bawah sebuah pohon yang sering disebut sebagai pohon Bodhi. Dari situlah ia kemudian menjadi Sang Buddha.
Buddha berasal dari kata Budhi yang artinya membangun atau menyadarkan. Buddha sendiri berarti “Yang Sudah Dicerahi”. Dari pengertian ini bisa diketahui bahwa Sidharta Gautama adalah orang yang sudah dicerahi. Sidharta Gautama yang telah menjadi Sang Buddha kemudian memaparkan ajarannya (damma) kepada para pengikutnya agar juga bisa memperoleh pencerahan. Artinya setiap manusia bisa menjadi Buddha apabila mengikuti ajaran Sidharta Gautama dengan benar dan sungguh-sungguh.
Ajaran Sang Buddha kemudian dikenal dengan sebutan Damma atau Darma dalam bahasa Sansekerta.
Sang Buddha mengajarkan bahwa di dunia ini ada empat kebenaran arya (Cattari Ariya Saccani). Kebenaran pertama adalah bahwa kehidupan ini adalah dukkha. Dukkha berasal dari bahasa pali du yang berarti sukar dan kha yang berarti dipikul. Secara umum dukkha bisa diartikan sebagai sesuatu atau beban yang sulit dipikul atau yang lebih sederhana diartikan sebagai penderitaan.
Kehidupan adalah dukkha karena dipenuhi oleh berbagai macam hal yang membuat diri kita tidak tenang. Dukkha terdiri dari tiga bentuk yaitu; dukkha-dukkha yang merupakan ketidakpuasan atau penderitaan yang dialami dan dirasakan tubuh seperti sakit, perasaan sedih, perasaan gagal. Lalu yang kedua adalah viparinama-dukkha yaitu ketidakpuasan atau penderitaan yang disebabkan adanya perubahan seperti misalnya muda jadi tua, sehat jadi sakit, perasaan bahagia yang berubah sedih, dan lainnya. Dan yang ketiga adalah sankhara-dukkha yaitu ketidakpuasan atau penderitaan yang berhubungan dengan lima kelompok kemelekatan atau panca khanda yang adalah jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan, dan perasaan seperti tidak dapat merasakan masakan yang enak karena adanya indera pengecapan, dan lain sebagainya.
Kebenaran kedua yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah bahwa segala bentuk dukkha ini disebabkan oleh karena adanya tanha atau nafsu atau keinginan yang tidak pernah ada habisnya. Tanha itu terdiri dari tiga bentuk yaitu; kamatanha yang merupakan nafsu akan segala sesuatu yang bersifat indrawi seperti bentuk, suara, wangi, rasa, sentuhan, dan bentuk pikiran. Berikutnya adalah bhavatanha yaitu nafsu untuk terlahir kembali sebagai manusia, dan yang terakhir adalah Vibhavatanha yaitu nafsu atau keinginan untuk memusnahkan diri.
Lalu apabila kehidupan ini dukkha dan dukkha disebabkan oleh tanha bisakah kita menghentikan penderitaan itu? Sang Buddha menjawab bisa. Inilah kebenaran yang ketiga bahwa dukkha itu bisa dihilangkan apabila kita juga menghilangkan tanha sebagai sumber penyebabnya.
Menghilangkan dukkha bisa dilakukan dengan mengikuti ajaran jalan mulia berunsur delapan (ariya atthangiko magga) dan ini pula yang merupakan kebenaran keempat.
Jalan mulia berunsur delapan merupakan delapan hal yang harus dilakukan oleh manusia untuk terbebas dari penderitaan yang dikelompokkan menjadi tiga bagian besar yaitu; (a) kebijaksanaan atau panna terdiri dari pengertian yang benar dan pikiran yang benar, (b) kemoralan atau sila terdiri dari ucapan yang benar, perbuatan yang benar, dan pencarian yang benar, (c) konsentrasi atau samadhi yang terdiri dari daya upaya yang benar, perhatian yang benar, dan konsentrasi yang benar.
Apabila kedelapan hal tersebut dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka manusia akan terbebas dari penderitaan dan akan mencapai suatu kondisi yang disebut nibbana yaitu suatu kondisi terbebas dari nafsu-nafsu atau kondisi batin (state of mind) yang murni, tenang, dan seimbang.
Secara umum itulah inti ajaran pokok Buddhisme. Dari uraian di atas jelas sekali bahwa Sang Buddha lebih menekankan pada praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari dan tidak mengajarkan ritus atau ritual penyembahan atau devosi.
Maka tidak heran apabila Buddhisme lebih dari sekedar agama tetapi juga falsafah hidup. Hal ini disebabkan ajaran Buddhisme bisa dilakukan oleh siapa saja yang bahkan memiliki pandangan teologis ketuhanan yang berbeda dengan konsep ketuhanan dalam Buddhisme. Sehingga kiranya segala tuduhan dan salah tafsir akan ajaran ini akan gugur dengan sendirinya apabila kita mau mempelajari lebih dalam dan mau melihat lebih dekat.
Saat ini penganut Buddhisme tidak hanya tersebar di Asia saja, tetapi juga sudah menyebar ke Amerika, Eropa, Australia bahkan mungkin seluruh dunia.
Meningkatnya peminat akan ajaran Buddhisme mungkin disebabkan karena kondisi kehidupan modern yang dirasa sangat menekan diakibatkan oleh pelampiasan nafsu sebebas-bebasnya. Pelampiasan nafsu ini justru dianggap tidak mampu memberikan hakikat kebahagiaan dalam hidup. Maka tak heran banyak orang berpaling Buddhisme yang menawarkan konsep menjalani hidup yang bertujuan untuk memadamkan egoisme nafsu untuk mencapai kondisi batin (state of mind) tertinggi yaitu Nibbana atau Nirvana dalam bahasa Sansekerta

Irfan Syaebani, 22 Januari 2011, 22.37 WIB.

Daftar Pustaka:
Armstrong, Karen. (2005). Buddha. Jakarta: Bentang
To Thi Anh. Eastern and Western Cultural Values; Conflict or Harmony? Bahan Kuliah extension course Filsafat semester genap 2009/2010. STF Driyarkara Jakarta.
www.bhagavant.com

Komentar

  1. iya gw setujulah sama lu
    gw juga pengikut Buddha fan,
    ajarannya bagus buat diri gw
    menurut gw menghilangkan hawa nafsu bikin kita g gampang stress hehhee..
    coba aja semedi kl lg galau dijamin galaunya ilang
    hihihii...

    BalasHapus
  2. Baru mengerti sekarang Kak tentang ajaran Buddhisme.. Bagus banget ya untuk diterapkan bagi kehidupan sehari-hari.. Thank you Ka Bani sharingnya, ditunggu update post atau artikel lainnya..

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar