Mengenal Komunisme: Penghapusan Hak Milik Pribadi terhadap Alat Produksi Sebagai Cara Mengatasi Keterasingan Manusia dalam Pekerjaannya

Di Indonesia komunisme merupakan suatu momok yang menakutkan. Komunisme seakan-akan menjelma menjadi hantu. Seperti layaknya hantu yang bersifat gaib, tidak tampak, dan tidak bisa kita jangkau begitu juga komunisme seolah-olah gaib, tidak tampak, dan tidak bisa dijangkau. Komunisme menakutkan bagi sebagian masyarakat Indonesia, tetapi ketika ditanya apa dan bagaimana rupa komunisme banyak masyarakat Indonesia yang tidak tahu dan tidak memahaminya.
Banyak juga masyarakat yang mengaku-ngaku memahami komunisme, tapi kemudian terjebak hanya dengan pemahaman bahwa komunisme itu ateis, tidak mengenal Tuhan. Suatu pemahaman yang simplisitis dan cenderung keliru karena komunisme bukan suatu paham yang membahas ada tidaknya Tuhan. Komunisme adalah filsafat ekonomi politik yang apabila ditelaah secara mendalam isinya berupa argumentasi-argumentasi yang jauh dari pembahasan filsafat ketuhanan. Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini (dan mungkin pada tulisan-tulisan selanjutnya) saya ingin membahas apa itu komunisme secara sederhana.
Harapan saya agar orang yang membaca tulisan saya ini menjadi paham dan tidak salah kaprah terhadap komunisme, sehingga bisa memberikan penilaian yang berimbang terhadapnya.

MANUSIA DAN PEKERJAAN
Sebagian besar isi ajaran komunisme berkutat dengan masalah ekonomi politik terutama masalah manusia dan pekerjaannya. Bagian ini mendapatkan porsi yang sangat besar dalam pembangunan kerangka filosofis ajaran komunisme.
Sebelum melangkah lebih lanjut membahas manusia dan pekerjaannya, ada suatu pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu; Bagaimanakah cara manusia menyadari ke-AKU-annya, keberadaannya?
Menurut Hegel, manusia menyadari ke-AKU-annya adalah dengan cara menyadari adanya objek-objek lain di luar dirinya. Manusia menjadi sadar akan Aku-nya setelah dia melihat adanya objek lain yang berbeda dengan dirinya. Manusia sadar akan kehadiran objek-objek seperti pohon, burung, pesawat, mobil dan dalam kesadaran terhadap objek-objek itu manusia menyadari Aku-nya sendiri, keberadaannya sendiri. Manusia menyadari keberadaan pohon, burung, pesawat, mobil dll. tetapi ia bukan pohon, bukan burung, bukan pesawat, dan bukan mobil tetapi sebagai AKU yang berbeda dari pohon, burung, pesawat, dan mobil. Aku sebagai subjek.
Fakta ini menjadikan manusia menyadari ke-AKU-annya, keberadaannya, secara negatif (von Magnis, 1983), artinya manusia tidak memiliki identitas yang bulat positif, tetapi identitasnya ditentukan dalam suatu gerak menolak (menegasi) objek. Ini juga berarti bahwa manusia tidak mungkin bisa menyadari ke-AKU-annya, kesadarannya apabila tidak ada objek, karena manusia hanya bisa sadar apabila ia menolak objek sebagai hal yang bukan Aku (mis: saya melihat pohon tapi saya bukan pohon, sehingga saya sadar bahwa saya ini SAYA dan BUKAN pohon. Pohon dinegasi/ditolak sebagai bukan saya, dan saya sadar akan keberadaan saya karena saya berbeda dengan pohon. Atau contoh lain, saya sadar ke-AKU-annya saya sebagai dosen karena ada mahasiswa. Saya sadar bahwa saya dosen karena saya bukan mahasiswa. Mahasiswa ditolak/dinegasi sebagai bukan saya, tapi kesadaran bahwa saya dosen tidak mungkin ada apabila tidak ada objek yang bernama mahasiswa).
Karena ke-AKU-an manusia itu ditentukan oleh adanya objek sedangkan objek adalah sesuatu yang berada di luar diri manusia, maka kemudian objek tersebut seolah-olah mengancam. Mengancam karena keberadaan kita ditentukan oleh keberadaaan objek tersebut. Oleh sebab itu, maka ancaman tersebut harus dihilangkan bukan dengan cara menghancurkan objek tetapi dengan cara menghilangkan keasingan objek tersebut dan cara menghilangkan keasingan tersebut adalah dengan bekerja.
Contoh sederhananya seperti ini. Saya menyadari keberadaan saya karena saya menyadari saya bukan kayu (kayu sebagai objek kita tolak/negasi). Saya menjadi sadar akan keberadaan saya disebabkan karena adanya kayu yang saya tolak sebagai bukan saya, tetapi kemudian kesadaran saya ditentukan oleh keberadaan objek kayu tersebut, padahal kayu adalah objek yang berada di luar saya. Kayu tersebut kemudian seolah-olah mengancam saya karena keberadaan saya ditentukan oleh objek kayu yang saya tolak. Maka agar objek kayu tersebut tidak mengancam, saya harus menghilangkan keasingan objek kayu tersebut sebagai yang bukan saya, caranya adalah dengan memberi bentuk baru pada kayu tersebut. Saya kemudian memahat kayu tersebut menjadi sebuah patung sesuai dengan imajinasi saya. Di sini kayu yang tadinya sebuah objek yang berada di luar saya kemudian menjelma menjadi pewujudan saya berupa sebuah patung. Kayu tersebut telah berubah menjadi sesuatu yang tidak lagi asing tetapi sebagai sesuatu yang saya bentuk menurut imajinasi saya. Objek kayu tersebut tidak lagi menjadi objek yang berada di luar saya tetapi menjadi cerminan saya itu sendiri. Manusia memandang objek hasil pekerjaannya (di sini patung kayu) sebagai kenyataan akan keberadaan dirinya.
Dari uraian tersebut diatas jelaslah bahwa dengan bekerja manusia menjadi nyata. Dengan bekerja ke-AKU-an manusia menjadi benar-benar terwujud dalam bentuk hasil pekerjaan yang diolah dari objek yang tadinya seolah-olah mengancam kita. Keasingan objek tersebut kita ubah menjadi sesuatu yang sesuai dengan cerminan kita. Maka jelaslah bahwa manusia harus bekerja, karena dengan bekerja manusia mewujudkan ke-AKU-annya dalam bentuk nyata berupa hasil kerja.
Akan tetapi, uraian tersebut kemudian dilengkapi oleh Karl Marx. Marx menyatakan bahwa penjabaran di atas terlalu menyederhanakan masalah. Marx bertanya apabila bekerja/pekerjaan itu sebagai sesuatu yang luhur yang mewujudkan ke-AKU-an, keberadaan manusia menjadi nyata, mengapa begitu banyak orang yang merasa diperbudak, dihina, diasingkan oleh kerja dan membenci pekerjaannya?
PEKERJAAN DAN KETERASINGAN MANUSIA
Marx kemudian mencoba menjelaskan mengapa bekerja/pekerjaan menjadi sesuatu hal yang dibenci, padahal menurut Hegel dengan bekerja justru manusia itu mewujudkan ke-AKU-annya.
Mengapa banyak orang yang justru merasa bekerja bukan sebagai sesuatu yang menggairahkan. Pagi-pagi manusia dengan murung masuk kerja dan saat yang paling ditunggu adalah saat pulang kerja. Mereka bekerja bukan karena senang tetapi karena terpaksa. Terpaksa karena dengan bekerja mereka mendapatkan upah yang bisa digunakan untuk membiayai kehidupan mereka (von Magnis, 1983). Inilah sumber keterasingan manusia dari pekerjaannya: UPAH.
Penjelasannya seperti ini; saya bekerja bukan karena saya menyukai pekerjaan tersebut tetapi karena saya memerlukan upah yang ditawarkan apabila saya melakukan pekerjaan tersebut. Saya mencari upah bukan karena iseng, tetapi karena upah tersebut saya pergunakan untuk membiayai kehidupan saya, supaya saya tidak mati kelaparan. Akibatnya saya tidak dapat memilih apa yang ingin saya kerjakan ketika bekerja karena saya harus mengerjakan hal-hal yang diperintahkan kepada saya, bukan mengerjakan hal-hal yang menjadi keinginan saya. Oleh sebab itu pekerjaan menjadi mengasingkan saya, karena alih-alih saya ingin mengerjakan hal-hal yang saya inginkan saya diharuskan mengerjakan hal-hal yang diperintahkan. Pekerjaan yang menginginkan upah kemudian menjadikan saya tidak bebas karena apa yang saya kerjakan ditentukan oleh orang lain bukan oleh keinginan saya sendiri.
Lalu mengapa pula saya harus tunduk kepada orang lain tersebut (dalam hal ini majikan atau atasan atau pemberi kerja)? Alasannya karena alat-alat yang saya butuhkan untuk bekerja dimiliki oleh orang lain tersebut. Misalkan sebagai petani saya mau bekerja di sawah, tetapi sawah tersebut di miliki oleh tuan tanah, maka jikalau saya mau bekerja di sawah saya harus tunduk pada tuan tanah.
Dengan kata lain, asal usul keterasingan manusia dari pekerjaannya adalah kepemilikan alat-alat kerja oleh pribadi-pribadi tertentu. Inilah argumen yang menyatakan bahwa kepemilikan pribadi alat-alat kerja/alat-alat produksi harus dihapuskan. Apabila tidak, maka pekerja harus tunduk pada orang yang memiliki alat produksi tersebut karena jika tidak tunduk saya tidak akan bisa bekerja, apabila tidak bekerja saya tidak akan mendapatkan upah. Di sinilah kemudian manusia terasing dari pekerjaannya. Karena pekerjaan merampas kebebasan manusia untuk melakukan apa yang disenanginya. Manusia menjadi teralienasi dalam pekerjaannya.
Untuk menghapusakan keterasingan atau alienasi tersebut, Marx melihat hanya ada satu jalan yaitu penghapusan kerja upah. Bagaimana cara menghapuskan kerja upah tersebut? Yaitu penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi.
Apabila hak milik pribadi atas alat produksi dihapuskan maka setiap orang dalam melakukan pekerjaan tidak harus tergantung pada segelintir orang yang memiliki alat kerja. Akibatnya pekerja tidak perlu tunduk lagi pada orang yang memiliki alat kerja tersebut. Karena tidak perlu tunduk, pekerja menjadi bebas melakukan pekerjaan apa pun yang diinginkannya. Manusia kemudian menjadi tidak terasingkan lagi.
Uraian di atas hanya sekelumit dari ide-ide komunisme. Di situ jelas sekali bahwa pokok bahasan utama komunisme adalah ekonomi politik bukan filsafat ketuhanan. Sehingga kiranya agak keliru apabila menyatakan komunisme sama dengan ateisme, karena titik fokus pembahasan keduanya sangat berlainan.
Selain penghapusan hak milik pribadi atas alat produksi sebagai cara membebaskan manusia dari keterasingannya dalam pekerjaan, sebenarnya masih banyak topik lain yang menjadi pembahasan komunisme, seperti teori nilai lebih, kesadaran kelas, perjuangan kelas dll. Pembahasan tentang penghapusan hak milik pribadi atas alat produksi yang dibahas di sini pun sebenarnya belum lengkap karena belum memaparkan jawaban bagaimana cara penghapusan hak milik pribadi tersebut. Akan tetapi, agaknya memerlukan ruang yang banyak dan tenaga yang ekstra apabila semua hal tersebut harus dibahas secara langsung dalam satu tulisan.
Setidaknya tulisan ini bisa digunakan sebagai pengantar untuk mengetahui ide apa sebenarnya yang diusung oleh komunisme, sehingga kita tidak salah kaprah dan memberikan penilaian yang berat sebelah.

Irfan Syaebani

Daftar Pustaka: Von Magnis, Franz. (1983). Manusia dan Pekerjaannya; Berfilsafah Bersama Hegel dan Marx. Sekitar Manusia; Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia. Ed. Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens. Jakarta: Gramedia.

Komentar