Politik Lokal Indonesia

Reformasi yang bergulir pada akhir abad ke-20 di Indonesia melahirkan banyak sekali perubahan dalam sistem ketatanegaraan. Jika dalam masa Orde Baru presiden adalah sebuah lembaga yang memiliki kekuasaaan yang sangat besar, maka di masa Reformasi sedikit-demi sedikit kekuasaannya mulai dikebiri. 
Reformasi juga menyebabkan lembaga legislatif mempunyai kekuasaan yang lebih besar, yang bertujuan untuk menyeimbangkan kontrol terhadap kekuasaan yang dimiliki presiden. Selain itu, masa Reformasi juga dianggap masa yang ditandai dengan berkembangnya demokratisasi. Mulai dari pemilihan umum secara langsung sampai dengan otonomi daerah.
Otonomi daerah adalah pelimpahan kekuasaan pengurusan rumah tangga daerahnya sendiri mulai dari urusan pendidikan, kesehatan, dan pengelolaan keuangan yang tadinya diatur oleh pemerintah pusat menjadi diatur secara otonom oleh daerah masing-masing.
Secara sekilas otonomi daerah yang mengejawantah dalam politik desentralisasi kewenangan tampak sebagai sebuah koreksi yang serius terhadap kesalahan kebijakan di masa lalu. Otonomi daerah tampak sebagai sebuah politk kebijakan yang akan menguntungkan masyarakat di daerah, karena masyarakat di daerah diberi kesempatan untuk mengurus daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat di daerah tersebut. Akan tetapi, apakah benar begitu?
Dalam tulisan ini saya akan mencoba menggambarkan politik kebijakan desentralisasi yang dalam praktiknya ternyata tidak seindah yang diimpikan. Politik kebijakan desentralisasi tidak kunjung menyejahterakan rakyat seperti yang dicita-citakan, tetapi malah menyuburkan praktik-praktik penyimpangan yang dahulu terpusat menjadi tersebar merata seperti korupsi, kolusi, nepotisme, perebutan kekuasaan, dan lain-lain. Selain itu pergolakan-pergolakan yang pada masa Orde Baru dianggap tabu menjadi muncul dan bahkan menemukan momentumnya akibat politik kebijakan desentralisasi ini. Etnisitas dan religiositas tumbuh subur dan menjadi garis pemisah di antara masyarakat.
Pemekaran dan Perebutan Kekuasaan
Salah satu bentuk otonomi daerah adalah kebijakan pemekaran, atau dalam istilah administratif ketatanegaraan adalah pemecahan unit-unit administrasi menjadi unit-unit baru. Pemekaran yang dilakukan mulai dari pemekaran provinsi sampai dengan pemekaran kabupaten/kota dianggap sebagai konsekuensi yang wajar dalam mendukung otonomi daerah dengan politik kebijakan desentralisasinya. Pemekaran unit-unit adminsitrasi dianggap perlu untuk memperpendek jalur layanan publik sehingga menjadi lebih dekat dengan rakyat yang pada ujungnya adalah terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Akan tetapi, pada kenyataannya itu hanyalah alasan dibalik topeng perbutan kekuasaan belaka. Pemekaran tidak lain dari lobi-lobi politis yang dilakukan oleh para elit daerah yang mengincar unit-unit politis baru yang bisa mereka kuasai dan perintah apabila unit administrasi baru tersebut telah terbentuk (Aragon, 2007). Banyak pula rakyat, yang selama ini dijadikan alasan pembentukan unit admisitrasi baru sebagai aspirasi mereka, tidak mempunyai gambaran yang jelas mengenai apa dampak nyata dari pembentukan unit-unit administrasi tersebut pada kehidupan sehari-hari mereka (Aragon, 2007). 
Banyak kasus usulan pemecahan unit administrasi tak lain bermotif perebutan kekuasaan, seperti yang terjadi dalam kasus usulan pembentukan Provinsi Luwu Raya di Sulawesi. Motif dari usulan pemekaran ini tak lain dari perebutan kekuasaan politis dan ekonomis serta perebutan kontrol atas sumber-sumber yang dianggap strategis (Roth, 2007). Begitu juga yang terjadi di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Kampanye pemekaran kabupaten hanya merupakan arena persaingan antarfaksi elit lokal (Vel, 2007). Mereka adalah sebagian kecil masyarakat yang berasal dari keturunan ningrat, yang berpendidikan baik, dan mempunyai karier profesional yang sukses (Vel, 2007). Para elit ini tidak bisa dianggap mewakili aspirasi masyarakat di daerah tersebut secara umum. 
Dari sini terbukti bahwa otonomi daerah yang salah satu bentuknya adalah pemekaran tidak menjadi strategi politik yang menyejahterakan rakyat.
Pemerataan Korupsi
Otonomi daerah yang diiringi oleh politik desentralisasi juga mewujudkan praktik subur korupsi yang merata di hampir semua daerah. Korupsi tidak lagi tersentralisasi seperti pada masa Orde Baru, tetapi menjadi terdesentralisasi. Para penguasa daerah yang diberikan otonomi dalam pengurusan rumah tangga daerahnya terjerumus dalam praktik-praktik tercela ini.
Salah satu contohnya adalah kasus korupsi dan kongkalikong pemanfataan hasil hutan di Kalimantan. Orang-orang yang dekat dengan pejabat atau mendapatkan dukungan mereka saling membantu dan menawarkan uang untuk mendapatkan izin eksplotasi hutan skala kecil, izin-izin untuk mengangkut kayu, dan izin-izin pendirian pabrik penggergajian kayu. Peraturan-peraturan daerah dan kebijaksanaan-kebijaksanaan secara eksplisit maupun implisit menguntungkan orang-orang yang mempunyai status putra daerah (McCarthy, 2007). Sistem pengelolaan hutan dipenuhi dengan kolusi dan korupsi yang memperkaya orang-orang yang menduduki posisi-posisi kunci dalam pemerintahan daerah (McCarthy, 2007).
Begitu pula dengan kasus Gubernur Aceh Abdullah Puteh yang tersangkut dalam berbagai macam kasus korupsi seperti kasus korupsi PT Seulawah NAD Air dan korupsi Organisasi Amal YPAB Nur Raudha. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Abdullah Puteh ini bisa berjalan karena adanya kolaborasi dengan DPRD setempat (Sulaiman dan Klinken, 2007). Otonomi khusus yang diberikan kepada Provinsi tersebut dijadikan ajang memperkaya diri sendiri dan orang-orang yang berafiliasi dengan pemimpin daerah tersebut.
Lagi-lagi kebijakan desentralisasi belum juga mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat, malah berekses negatif berupa penyimpangan yang terjadi secara merata di daerah-daerah. Lagi-lagi masyarat juga yang menjadi korban dan dikorbankan demi ambisi segelintir elit daerah. 
Menguatnya Etnisitas dan Religiositas
Desentralisasi juga ditandai dengan menguatnya Etnisitas dan Religiositas. Apabila dalam masa Orde Baru adalah sangat tabu untuk membicarakan SARA, maka pada masa Reformasi orang-orang malah mengidentifikasikan dirinya dengan etnisitas dan religiositas ini yang kadang kala menyebabkan konflik.
Salah satunya kasus yang terjadi di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pada 17 Januari 2000 kerusuhan terjadi yang mengakibatkan pembakaran terhadap rumah-rumah keluarga kristen dan gereja (MacDougall, 2007). Kerusuhan ini disulut oleh benturan antara masyarakat muslim Lombok dengan masyarakat kristen.
Selain itu ada juga Insiden Sengkongo yang merupakan pertikaian antara etnis Bali dengan etnis Sasak di Lombok. Insiden ini menyebabkan pembunuhan I Gusti Made Banjar dan I Gusti Made Padma secara sadis (MacDougall, 2007).
Begitu pula yang terjadi di Kalimantan Barat. Politik etnis menjadi sesuatu hal yang mengkhawatirkan dan mengarah pada konflik, seperti konflik yang terjadi antara etnis Dayak dengan Madura. Begitu juga pertentangan antara etnis Melayu dan Dayak. Konflik dan pertentangan antaretnis tidak selalu timbul karena motivasi politik (Tanasaldy, 2007), meskipun begitu ada juga pihak-pihak yang berusaha mencari keuntungan politis dari konflik tersebut (Tanasaldy, 2007).
Identitas etnis akan terus memainkan peranan penting, terutama dalam politik di Kalimantan Barat (Tanasaldy, 2007). Menguatnya etnisitas dan religiositas ini tidak lepas sebagai ekses dari politik desentralisasi, yang lagi-lagi berakibat tidak menyejahterakan masyarakat.
Kebijakan sentralisasi yang diterapkan pada masa Orde Baru terbukti gagal mewujdukan masyarakat yang sejahtera. Oleh sebab itu, dalam masa Reformasi dilakukanlah koreksi terhadap kebijakan sentralisasi tersebut.
Pada masa Reformasi ini diperkenalkanlah konsep otonomi daerah dengan desentralisasi kekuasaan. Sayangnya kebijakan ini lagi-lagi belum terbukti berhasil menyejahterakan rakyat, malah banyak ekses negatif yang ditimbulkan oleh kebijakan politik desentralisasi ini. Akan tetapi, kita tidak bisa dengan cepat mengambil kesimpulan bahwa kebijakan desentralisasi gagal total, karena implementasi kebijakan ini pun baru berjalan 10 tahun dengan cacat dan kekurangan di sana-sini.
Alangkah baiknya apabila evaluasi berkala terus dilakukan untuk memastikan agar tujuan dari kebijakan desentralisasi yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat bisa dicapai. Pesimisme dan optimisme memang akan selalui mewarnai apa pun kebijakan yang diambil dan tidak ada satu pun kebijakan yang sempurna. Oleh sebab itu alih-alih saling menyalahkan, alangkah lebih baiknya bila dilakukan koreksi dan evaluasi bersama sehingga kita tidak terjebak dalam proses trial and error berbagai kebijakan yang terus menjadikan rakyat sebagai objek penderita.

Irfan Syaebani

Daftar Pustaka:
Aragon, Lorraine V. (2007). Persaingan Elit di Sulawesi Tengah. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV-Yayasan Obor Indonesia.
MacDougall, John M. (2007). Kriminalitas dan Ekonomi Politik Keamanan di Lombok. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV-Yayasan Obor Indonesia.
McCarthy, John F. (2007). Dijual ke Hilir: Merundingkan Kembali Kekuasaan Publik Atas Alam Kalimantan Tengah. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV-Yayasan Obor Indonesia.
Roth, Dik. (2007). Gubernur Banyak, Provinsi Tak Ada: Berebut Provinsi di Daerah Luwu-Tana Toraja di Sulawesi Selatan. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV-Yayasan Obor Indonesia.
Sulaiman, M Isa, Gerry van Klinken. (2007). Naik Daun dan Kejatuhan Gubernur Puteh. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV-Yayasan Obor Indonesia.
Tanasaldy, Taufiq. (2007). Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV-Yayasan Obor Indonesia.
Vel, Jaqueline. (2007). Kampanye Pemekaran di Sumba Barat. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV-Yayasan Obor Indonesia.

Komentar