Tao: Kebijaksanaan dari Timur


Taoisme adalah sebuah ajaran kebijaksanaan kuno yang diajarkan oleh Lao-Tze ribuan tahun yang lalu. Meskipun sudah sangat tua, ajaran Taoisme dianggap sebagai ajaran yang abadi dan masih dianut oleh banyak orang baik di Barat dan terutama di Timur.
Konsep ajaran yang diajaran oleh Lao-Tze adalah Tao. Menurut To Thi Anh, Tao bisa diartikan sebagai “Jalan” dan dalam arti yang lebih luas sebagai sebuah “Realitas Absolut”, “Yang Tak Terselami”, “Dasar Penyebab”, dan “Akal Budi” atau “Logos”. Lao-Tze mengajarkan bahwa “semua yang ada di bawah langit mempunyai jalannya.” Jalan inilah yang disebut sebagai Tao. Menurut Lao-Tze manusia yang baik adalah manusia yang memiliki kebijaksanaan Wu Wei.
Wu Wei sering diartikan sebagai Tanpa Aksi, Pasif, Tidak Memaksa. Tapi arti sebenarnya dari Wu Wei adalah bahwa setiap yang ada di bawah langit (termasuk manusia di dalamnya) telah memiliki jalan. Maksudnya adalah bahwa setiap yang ada di bawah langit dipandu oleh Tao untuk mengikuti jalan tersebut, tidak memaksakan kehendak, dan tidak menyeleweng dari jalan tersebut. Wu Wei bukan berarti pasrah, tetapi selaras dengan alam. Harmoni. Tanpa kekerasan. Tanpa Pemaksaan.
Lao-Tze mengajarkan tiga kebajikan yaitu: lemah lembut, rendah hati, dan tidak ingat diri.
Kekerasan selama ini sering digunakan orang untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak lain (baik manusia maupun benda-benda lain yang ada di bumi). Tetapi Taoisme justru mengajarkan kelembutan, karena setiap yang ada di bawah langit sudah mempunyai jalannya, sehingga sungguh suatu perbuatan sia-sia memaksakan kehendak kepada segala sesuatu. Oleh karena segala sesuatu telah mempunyai jalannya dan pemaksaan kehendak adalah kesia-siaan maka kekerasan adalah juga suatu hal yang sama tak bergunanya.
Sedangkan mengenai rendah hati, Lao-Tze mengajarkan bahwa rendah diri adalah selalu dekat dengan keaslian yang sederhana dan jujur. Artinya bahwa orang yang membiarkan dirinya dibimbing oleh Tao adalah orang yang tidak serakah. Rendah hati berarti hilangnya perasaan merasa kurang puas dan perasaan selalu ingin memiliki. Prinsip ini juga berasal dari keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada di bawah langit ini telah mengikuti jalannya. Dengan menjadi serakah maka seorang manusia menjadi tidak selaras dengan alam. Menyimpang dari jalannya. Dengan rasa serakah manusia akan menguasai alam bukannya berharmoni dengan alam.
Mengenai kebajikan tidak ingat diri, Lao-Tze mengajarkan bahwa manusia itu tidak memiliki apa pun. Hidup yang dijalani oleh manusia adalah bukan kehidupannya tetapi kehidupan yang dipinjamkan alam kepadanya. Oleh karena itu, maka berikanlah kepada alam semesta segala sesuatu yang memang menjadi miliknya, termasuk di dalamnya diri kita sendiri. Kita tidak boleh memikirkan diri kita sendiri karena diri kita sendiri pun bukan milik kita sendiri. Kita harus melupakan diri kita sendiri dan menyerahkan diri kita untuk selaras dengan alam. Prinsip tidak ingat diri ini lagi-lagi didasarkan pada keyakinan akan Tao sebagai suatu kekuatan yang membimbing segala sesuatu di dunia ini agar tetap berada pada jalannya masing-masing. Dengan melupakan diri dan menyerahkan diri kita pada alam, maka kita telah tunduk pada Tao dan membiarkan Tao membimbing kita agar selalu ada di jalan tempat kita seharusnya berada.
Secara sekilas ajaran Taoisme akan tampak sebagai sebuah ajaran yang mengajarkan manusia untuk tidak berambisi, pasif, dan pasrah. Akan tetapi, bukan itu inti ajaran Taoisme. Inti ajarannya adalah harmoni. Bahwa kita sebagai bagian dari makhluk-makhluk yang ada di bawah langit telah mempunyai jalan sendiri. Begitu juga pohon, binatang, batu, air, dan benda-benda lain mempunyai jalannya masing-masing. Oleh sebab itu maka yang harus dilakukan oleh manusia adalah berjalan pada jalannya sendiri, dan Tao sebagai sebuah kekuatan yang mengatur dunia yang akan mengarahkan kita agar selalu berjalan di jalan yang benar. Apabila ajaran Taoisme ini dihayati secara benar, maka kekerasan, pemaksaan, penindasan, eksploitasi, kerusakan lingkungan, dan kehancuran niscaya tidak akan pernah terjadi di atas bumi ini.

To Thi Anh. 1975. Eastern and Western Cultural Values: Conflit or Harmony? Bahan kuliah Extension Course Filsafat STF Driyarkara. Semester Genap 2009-2010.

Irfan Syaebani
2 Mei 2010

Komentar