Filsafat Mazhab Frankfurt

Filsafat Mazhab Frankfurt merupakan salah satu pemikiran filsafat yang berpengaruh di abad ke-20. Filsafat aliran ini melahirkan banyak tokoh yang memberikan andil besar dalam perkembangan sejarah filsafat modern. Pemikiran yang dihasilkan oleh aliran ini pun banyak dipelajari, diperbincangkan, dikritik, dan bahkan dipertentangkan.
Mazhab Frankfurt sebenarnya tidak pernah digunakan secara resmi untuk menyebut para pemikirnya (Tjahjadi, 2010). Para pemikir aliran ini menyebut sistem pemikiran mereka sebagai Eine Kritische Theorie der Gesellschaft atau Teori Kritis atas Masyarakat (Tjahjadi, 2010). Mazhab Frankfurt melekat kepada para pemikirnya disebabkan karena mereka semula bekerja pada satu lembaga yang sama di Universitas Frankfurt am Main Jerman yaitu Institute fur Sozialforschung. Dari situlah kemudian para pemikir aliran ini dikenal sebagai Filsafat Mazhab Frankfurt.
Filsafat Mazhab Frankfurt memulai pemikiran mereka dengan kritik terhadap masyarakat modern. Mereka bertanya mengapa manusia yang sudah dikatakan sebagai masyarakat yang modern malah bersikap layaknya orang barbar? Puncak kritik mereka didasarkan pada segala kekejaman yang dilakukan oleh Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Mereka bertanya mengapakah modernitas yang diagungkan sebagai hasil pencerahan (aufklarung) justru tidak berhasil membebaskan manusia menuju kondisinya yang sejati? 
Bertolak dari pertanyaan ini, kemudian mereka mulai mencari sebab-sebabnya dalam sejarah manusia. Mereka menyimpulkan bahwa sejarah manusia berisi atas sejarah dominasi. Manusia sebagai makhluk yang memiliki naluri untuk berkuasa (Der Wille zur Macht) mewarnai sejarahnya sebagai sejarah dominasi. Mereka mengatakan bahwa zaman pencerahan yang diagungkan justru menguatkan dominasi manusia, terutama dominasi terhadap alam. Dengan rasio yang dimilikinya dan perkembangan ilmu pengetahuan sebagai ekses zaman pencerahan, manusia kemudian mengeksploitasi alam, mendominasi alam, menguasai alam. Manusia mengobjekkan alam. Manusia menempatkan alam sebagai sesuatu yang didominasi dan dikuasai.
Perlakuan manusia yang menempatkan alam sebagai objek penguasaaan ternyata dilakukan juga dalam hubungan antarmanusia (Tjahjadi, 2010). Manusia dalam interaksinya dengan sesama manusia yang lain bersikap seolah-olah manusia yang lain itu sama seperti alam yang harus didominasi, dikuasai, dan dieksplotasi. Hubungan antarsesama manusia menjadi hubungan yang bersifat mekanis. Dalam masyarakat modern dengan kapitalismenya, teknologi yang canggih dan pranata yang ada telah terstruktur rapi. Akibatnya hubungan antarmanusia tak ubah layaknya hubungan pertukaran barang (Tjahjadi, 2010). Manusia dinilai, dieksploitasi, dan didominasi. Manusia diukur berdasrkan prestasinya kemudian dibayar sesuai dengan produktivitasnya. Manusia diperlakukan seperti barang. Akibatnya hubungan antarmanusia menjadi terasing dan manusia menjadi tidak mengenal dirinya sendiri. Manusia menjadi tidak merdeka, karena manusia sudah diatur sistem. Manusia hanya perlu mengikuti prosedur dan sistem yang telah ada. Sistem yang pada mulanya digunakan untuk mengatur alam kemudian juga digunakan untuk mengatur manusia. Contohnya sistem kerja. Dalam dunia kerja manusia diperlakukan layaknya objek. Pekerja diberi nomor (seperti nomor pegawai), didata, dikotak-kotakkan ke dalam kategori-kategori, dikaryakan agar produktif, dinilai prestasinya, diberi imbalan, dan lain sebagainya. Di dalam sistem kerja ini, manusia diperlakukan tidak sebagai manusia, tetapi hanya sebagai objek yang dipergunakan untuk mencapai suatu hasil tertentu. Inilah yang disebut sebagai proses pengobjekkan atau Versachlichung. Manusia tidak diperlakukan sebagai manusia tetapi sebagai objek.
Inilah yang menyebabkan mengapa manusia modern malah berbalik menjadi manusia barbar. Karena manusia hanya ditempatkan sebagai alat atau instrumen untuk memperoleh hasil, untuk meraih tujuan. Manusia dipandang sebagai sarana bukan sebagai manusia adanya. Sehingga masuk akal apabila penindasan, barbarisme, dan eksploitasi manusia terhadap manusia lainnya terjadi. Karena manusia hanya objek semata, tak lebih dari itu.
Mazhab Frankfurt mengkritik bahwa pencerahan ternyata tidak membawa manusia ke dalam kondisi bebas, ke dalam kondisi sejatinya sebagai manusia. Pencerahan yang menghasilkan ilmu-ilmu positif dan kemajuan teknologi justru membelenggu manusia. Manusia malah dikendalikan oleh sistem-sistem, mekanisme-mekanisme, prosedur-prosedur, dan teknologi yang diciptakannya sendiri. Manusia tenggelam dan tidak bisa lepas darinya. Keadaan ini amat mengenaskan. Masyarakat modern ternyata tidak lebih dari sekumpulan manusia-manusia yang tidak bebas, yang ditindas oleh sistem dan teknologi yang justru diciptakannya sendiri.
Adorno dan Horkheimer yang merupakan tokoh besar dalam Mazhab Frankfurt kemudian menyimpulkan bahwa manusia berada dalam kondisi yang pesimis (Tjahjadi, 2010). Manusia sudah tidak bisa lepas dari penindasan dan dominasi sistem dan teknologi. Manusia sudah terkungkung. Manusia menjadi terasing, hubungan antarmanusia menjadi mekanis, dan yang lebih parah manusia terasing dari dirinya. Seperti ungkapan kesepian di tengah keramaian, maka manusia menjadi modern dan maju, tetapi jauh di dalam dirinya individualitasnya sebagai subjek telah hilang.
Mazhab Frankfurt ini kemudian sampai pada suatu simpulan bahwa manusia butuh revolusi total untuk membebaskan dirinya dari dominasi, dari pengobjekan, dari penguasaan sistem dan teknologi, dan dari belenggu modernitas yang ternyata penuh manipulasi. Tetapi lagi-lagi para pemikir Mazhab Frankfurt kembali ke dalam pesimisme, karena manakah mungkin suatu revolusi total akan muncul apabila manusia sendiri tidak sadar bahwa dirinya sedang dimaniuplasi, dikuasai, dijadikan objek, dan terbelenggu?
Akhirnya para pemikir dalam Mazhab ini (terutama Adorno dan Horkheimer) menyatakan bahwa manusia tidak akan pernah bebas dari belenggu dan jatuh dalam keputusasaan akan kemungkinan manusia untuk menjadi bebas.
Meskipun diakhiri dengan pesimisme, pemikiran Mazhab ini telah mengilhami berbagai gerakan yang mencoba melawan dominasi sistem terhadap manusia. Gerakan Hippies, gerakan antikemapanan, gerakan kiri baru, gaya hidup grunge dan underground diilhami oleh pemikiran Filsafat Mazhab Frankfurt. Gerakan-gerakan ini mencoba melawan hal-hal yang selama ini membelenggu manusia. Mereka melawan sistem yang dianggap membelenggu, melawan kemapanan yang dianggap tidak membebaskan, melawan konsumerisme dan lain sebagainya. Ciri utama gerakan-gerakan tersebut adalah perlawanan mereka terhadap sesuatu yang dianggap membelenggu manusia. Mereka dikenal sebagai gerakan revolusioner yang dicap negatif sebagai golongan yang gemar akan seks bebas, hidup semaunya, antidominasi, anti terhadap sistem, melawan arus yang dianggap telah mapan, dan bergaya hidup alternatif.


Irfan Syaebani, 20 Februari 2010
21.30

Daftar Pustaka: Tjahjadi, Simon Petrus Lili. 2010. Sekolah Frankfurt dan Kritik Atas Modernitas: Yang Salah adalah yang Menyeluruh. Jakarta: Bahan Kuliah Extension Course Filsafat Semester Genap 2010/2011 Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Komentar