Homoseksualitas dalam Perspektif Agama



Homoseksualitas adalah sebuah fenomena yang sudah ada sejak zaman dahulu kala. Keberadaan homoseksualitas sama tuanya dengan keberadaan peradaban manusia dan kebudayaannya (Hatib Abdul Kadir, 2007). Homoseksualitas merupakan sebuah fenomena yang ada di sekitar kita namun tidak tampak secara mencolok mata. Ia cenderung tersembunyi dan keberadaannya sering diidentikkan dengan posisi minoritas. Selama ini yang dianggap sebagai orientasi seksual yang ‘normal’ adalah heteroseksualitas. Hal ini menyebabkan homoseksualitas tersingkir dan tersembunyi karena dianggap tidak sejalan dengan arus utama seksualitas.

Homoseksualitas bisa didefinisikan sebagai rasa ketertaikan secara perasaan dalam bentuk kasih sayang, hubungan emosional baik secara erotis maupun tidak. Ia bisa muncul secara menonjol, ekspresif maupun secara eksklusif yang ditujukan kepada orang-orang berjenis kelamin sama (Hatib Abdul Kadir, 2007). Selama ini homoseksualitas selalu dianggap sebagai sesuatu yang salah, menyimpang, dan tidak dibenarkan secara moral. Homoseksualitas dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak baik, buruk, dan dosa. Inilah yang menyebabkan keberadaaan golongan homoseksual sebagai pihak yang sering mengalami diskriminasi dan bahkan kekerasan secara fisik dan mental.
Agama selama ini dianggap sebagai salah satu faktor yang bertanggung jawab terhadap perlakuan tidak adil dan diskriminatif terhadap golongan homoseksual. Hampir semua agama besar di dunia (Yahudi, Kristen, dan Islam) menyatakan bahwa homoseksualitas adalah sebuah dosa. Atas dasar inilah kemudian homoseksualitas mendapatkan ciri negatifnya sebagai sesuatu yang melanggar moral. Agama yang selama ini dianggap sebagai salah satu otoritas tertinggi dalam hal menetapkan, menuntut, menghakimi, memaafkan, menentramkan hingga merekonsiliasikan aturan dan tatanan moral manusia kemudian menjadi acuan bagi masyarakat untuk menyatakan sebuah perilaku sebagai baik dan benar ataukah sebagai buruk dan salah.
Agama dianggap sebagai satu-satunya sumber moral tertinggi yang dianggap telah sempurna, karena agama merupakan sesuatu yang bersifat ilahiah dan bukan merupakan sesuatu yang diciptakan manusia. Atas dasar itulah kemudian terjadi pembenaran atas perlakuan diskrminatif, represif, dan kekerasan terhadap golongan homoseksual. Tindakan-tindakan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang benar bahkan dibenarkan oleh agama. Di beberapa negara bahkan perilaku homoseksual dianggap sebagai sebuah kejahatan yang harus dihukum, baik melalui pengadilan atau pun tidak melalui pengadilan.
Agama menjadi sesuatu yang menakutkan bagi golongan homoseksual. Agama tidak menyediakan ruang bagi golongan homoseksual, karena agama hanya menciptakan satu ruang atas orientasi seksual yaitu heteroseksualitas. Banyak orang yang berorentasi seksual homoseks mengalami benturan yang keras dengan agama dan otoritas agama (Moh Yasir Alimi, 2004). Hal ini disebabkan karena agama bersifat cenderung statis sementara homokseksualitas, yang merupakan sebuah fenomena sosial yang nyata, bersifat dinamis.
Paus yang merupakan otoritas tertinggi dalam agama Katolik dengan tegas menolak relasi hubungan homoseksual. Paus Benediktus XVI pernah menyatakan bahwa dirinya tidak setuju dengan homoseksualitas karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen. Meskipun begitu, Paus menekankan perlakuan diskriminatif dan represif tidak dibenarkan dalam menanggapi homoseksualitas yang sayangnya berkontradiksi dengan kenyataan. Himbauan Paus tersebut tidak terlaksana secara sempurna. Perlakuan diskriminatif dan represif masih sering menimpa dan merupakan kenyataan yang tak terelakkan bagi golongan homoseksual.
Begitu pun di dalam Islam. Homoseksualitas mendapatkan tentangan yang sangat keras. Landasan yang sering dipakai dalam Islam untuk menolak relasi hubungan seksual sejenis adalah kisah Nabi Luth yang tercantum dalam Alquran surat Hud ayat 77-83 (Moh Yasir Alimi, 2004). Di dalam Islam homoseksualitas dilaknat secara keras (Moh Yasir Alimi, 2004).
Jelas sekali bahwa ajaran-ajaran agama yang dianggap arus utama menyatakan penolakkannya terhadap homoseksualitas. Meskipun respon terhadap penolakan ini bervariasi, mulai dari respon yang paling keras hingga respon yang dianggap paling lunak.
Akan tetapi, fenomena homoseksualitas adalah sebuah fenomena yang terdapat dalam masyarakat dan tidak bisa dihindarkan. Tindakan homoseksualitas bukan semata-mata bagian dari pengaruh kontemporer gaya hidup orang-orang barat (Hatib Abdul Kadir, 2007). Homoseksualitas menyebar dan ditemukan di hampir setiap kebudayaan masyarakat mulai dari kebudayaan pada masyarakat Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Afrika Prakolonial, Eropa Pramodern, Melanesia, dan Pasifik bahkan sebelum gaya hidup kontemporer muncul(Hatib Abdul Kadir, 2007).
Menanggapi fenomena ini, para ahli agama yang cenderung liberal kemudian mencoba menawarkan suatu tafsiran agama baru terhadap homoseksual. Menurut Moh Yasir Alimi (2004) Islam menawarkan kemungkinan-kemungkinan yang besar terhadap emansipasi golongan homoseksual. Menurutnya eksklusi sosial seorang homoseksual sangat debatable dalam kaca mata Islam.
Timbulnya cara-cara penafsiran agama yang baru ini merupakan respon terhadap penafsiran agama arus utama yang dianggap menjadi pembenaran terhadap perlakuan tidak adil terhadap golongan homoseksual. Padahal seharusnya agama adalah penentang utama perlakuan tidak adil bukan malah menjadi semacam pembenar dan penganjur tindakan ketidakadilan.

Irfan Syaebani, 8 Januari 2010


Daftar Pustaka:
Alimi, Moh Yasir. 2004. Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama. Yogyakarta: LKIS

Kadir, Hatib Abdul. 2007. Tangan Kuasa dalam Kelamin. Yogyakarta: Insist Press

Komentar