Metafisika Porno: Realisme vs Nominalisme
Perdebatan
tentang porno dan hal-hal yang dianggap porno begitu bergema di Indonesia. Ada
begitu banyak pihak yang resah dengan hal tersebut. Beberapa pihak menganggap
porno baik dalam bentuk grafis atau praktis membahayakan.
Perdebatan
tentang goyang Inul yang dianggap porno pernah membelah masyarakat Indonesia.
Sebagian beranggapan bahwa yang dilakukan Inul dengan goyangnya adalah
perbuatan porno, sedangkan pihak yang lain berpendapat bahwa goyang Inul adalah
salah satu bentuk seni dan kebebasan berekspresi. Perdebatan kemudian berlanjut
terkait dengan rancangan undang-undang pronografi dan pornoaksi. Sebagian pihak
menyatakan bahwa undang-undang tersebut diperlukan untuk melindungi masyarakat
Indonesia, tetapi sebagian pihak yang menentang menyebut rancangan
undang-undang tersebut adalah bentuk pemberangusan terhadap kebebasan
berekspresi. Lalu apakah sebenarnya Porno?
Porno
berasal dari bahasa Yunani porneia yang
berarti seksualitas yang tidak bermoral. Dari asal katanya, porno berarti
segala sesuatu yang terkait dengan masalah seksualitas dan moralitas. Yang
dikatakan sebagai porno apabila seksualitas tersebut tidak sejalan dengan
prinsip-prinsip moral yang diyakini masyarakat. Pertanyaan selanjutnya, apakah
porno itu sebagai sesuatu hal yang bersifat universal atau partikular?
Universal
berarti bahwa suatu konsep bersifat independen dari sang pengamat, berada dalam
realitas, dan menunjuk pada objek ril di alam. Universalitas menyatakan bahwa
segala sesuatu itu memiliki the thing
itself atau das ding an sich
seperti dinyatakan oleh Immanuel Kant. Di dalam das ding an sich suatu objek ada secara independen lepas dari
kesadaran kita sebagai pengamat. Sehingga walaupun kita sebagai pengamat itu
tidak ada, maka objek tersebut tetap ada. Pandangan ini kemudian disebut
sebagai realisme. Oleh sebab itu, menurut Homer et al (2001) realisme memandang
bahwa suatu konsep itu memiliki referensinya di alam nyata. Konsep adalah intrinsic properties of the objects.
Apabila porno dianggap sebagai hal yang universal, maka porno adalah “sesuatu
yang selalu berada di sana” tidak tergantung pada kesadaran manusia. Porno
terbebas dari pengalaman manusia. Porno bersifat apriori. Ke-“porno”-an selalu
ada di alam meskipun manusia tidak mempersepsinya.
Sebaliknya,
partikular berarti bahwa suatu konsep bersifat dependen dari sang pengamat,
tidak menunjuk pada realitas di alam, dan hanyalah konstruksi pikiran manusia.
Suatu konsep hanyalah konstruksi pikiran manusia yang didasarkan pada konsensus
sosial (Homer et al, 2001). Oleh sebab itu, tidak pernah ada sesuatu pada
dirinya sendiri atau das ding an sich.
Suatu objek baru hadir di dalam realitas karena adanya kesadaran manusia yang
mempersepsinya. Apabila porno adalah suatu hal yang sifatnya partikular, maka porno
baru ada ketika ada kesadaran manusia dan porno bukan “sesuatu yang selalu
berada di sana." Pandangan ini kemudian disebut sebagai nominalisme.
Lalu,
apakah jawaban dari pertanyaan: Apakah porno itu sebagai sesuatu hal yang
bersifat universal atau partikular?
Konsep
porno sudah dikenal sejak zaman sebelum kedatangan agama Kristen dan terus
dikenal hingga saat ini. Akan tetapi, definisi dan kriteria porno ternyata
berubah dari satu masa ke masa lainnya. Pada zaman Yunani, sangatlah lumrah
menggambarkan para dewa-dewi dalam pose tanpa busana. Gambar-gambar ini menjadi
wujud pemujaan terhadap sang dewa. Di era setelah agama Kristen awal pun,
banyak seni-seni keagamaan digambarkan dalam pose-pose yang saat ini akan
dikategorikan sebagai porno. Di Bali, pada era sebelum modernitas menyentuh
pulau dewata, para perempuan tidak menutup payudara mereka, suatu hal yang akan
dikategorikan porno pada saat ini.
Di
sini tergambar jelas bahwa konsep porno ternyata bersifat kontekstual. Apa yang
dikatakan porno saat ini bukanlah hal yang porno di masa lalu. Begitu pula
sebaliknya, hal yang saat ini dianggap lumrah justru pada masa lalu dianggap
porno seperti misalnya perempuan yang membicarakan masalah seksualitasnya
meskipun dengan sesama perempuan dianggap hal yang tidak patut pada era
Victorian di Inggris.
Porno
kemudian tergantung pada sejarah dan pengalaman hidup dari sang pengamat. Proses
persepsi terkait porno umumnya bersifat "top down processing", yaitu berdasarkan pengetahuan yang telah
ada (dimiliki) sebelumnya oleh pelaku maupun pengamat. Penilaian masyarakat
terhadap pornografi umumnya streotipe dalam artian bahwa suatu hal dikatakan
porno hanya didasarkan pada prasangka-prasangka bukan secara objektif karena
memang ada suatu kriteria universal yang mendefinisikan sesuatu hal sebagai
porno.
Kembali
pada definisi porno secara etimologi yang terkait dengan seksualitas dan
moralitas, perlu diakui standar moralitas pun ternyata beragam antara satu
budaya dengan budaya lain. Maka sebagai akibatnya, batasan porno menjadi sulit
untuk ditarik secara tegas. Oleh sebab itu, maka porno adalah suatu hal yang
partikular dan kontekstual. Porno bukan hal yang bersifat universal, porno
hanya ada karena adanya manusia sebagai pengamat yang mempersepsikan suatu
objek sebagai porno.
Lebih
lanjut, karena porno adalah sesuatu hal yang subjektif, maka pembatasan
terhadap hal-hal yang dianggap porno adalah sesuatu hal yang tidak perlu
menurut Frederick (1996). Seperti di Indonesia, perumusan rancangan
undang-undang anti pornografi dan pornoaksi adalah hal yang tidak perlu.
Argumen yang mendukung pembatasan hal-hal yang porno seperti porno adalah hal
yang buruk, porno berbahaya bagi anak-anak, dan porno merendahkan perempuan
adalah argumen yang lemah. Sebagai contoh, asumsi bahwa porno berbahaya bagi
anak-anak selama ini ternyata adalah kesimpulan yang tergesa-gesa, ia
menyatakan:
There is no empirical evidence that
exposure to pornography causes harm to children (for obvious reasons
experiments have not been conducted). Given that sex is an everyday and
pleasurable activity that the vast majority of children will eventually
voluntarily engage in themselves, it is difficult to understand how
representations of such activity could affect them adversely (unless there were
something unusual or disturbing about the messages contained in the material,
or about the circumstances in which they were introduced to it).
Sebagai
kesimpulan porno sepenuhnya tergantung kepada kesadaran sang pengamat. Tidak
ada porno dalam dirinya sendiri. Argumen yang menyatakan porno adalah hal yang
universal sehingga dengan mudah bisa diregulasi karena berarti ada definisi dan
batasan yang jelas terhadapnya adalah argumen yang kurang kuat. Hal ini
disebabkan karena jika melihat sejarah, definsi dan batasan porno ternyata
adalah konstruksi dan consensus yang bisa saja berubah-ubah tergantung konteks.
Referensi:
Homer,
B. D., Brockmeier, J., Kamawar, D., & Olson, D. (2001). Between realism and
nominalism: learning to think about names and words. Genetic, Social, and General Psychology Monographs, 127(1), p.
5-25.
Frederick,
D. (1996). Defending pornography. Political
notes, 124, p. 1-4.
-->
Komentar
Posting Komentar