Pembuktian Keberadaan Tuhan Menurut Immanuel Kant
Tuhan adalah sebuah objek filsafat yang tak
pernah kering dibahas. Sejak zaman Yunani kuno hingga zaman postmodern topik
tentang tuhan tidak pernah usai. Tuhan dibahas dari segala aspeknya, mulai dari
eksistensi-Nya, hakikat-Nya, sifat-Nya, dan kemungkinan penyatuan dengan-Nya.
Salah satu filsuf yang mencoba membahas tentang
tuhan adalah Immanuel Kant. Immanuel Kant adalah salah satu filsuf yang hidup
di zaman modern. Ia adalah seorang berkebangsaan Jerman. Immanuel Kant juga
adalah pelopor aliran filsafat kritisisme, yaitu sebuah aliran yang mencoba
mensintesiskan metodologi pemikiran aliran Empirisisme dan Rasionalisme. Kant
juga salah satu tokoh etika terbesar dari zaman modern. Pemikiran etikanya
tentang imperatif kategoris menjadi salah satu alternatif dalam penyelesaian
masalah-masalah moral.
Meskipun Kant lebih dikenal sebagai filsuf yang
berkecimpung dalam bidang epistemologi dan etika, tetapi kajian tentang tuhan
pun tak luput dari penelaahannya. Kant-lah yang menolak semua argumen logis
tentang keberadaan tuhan, karena menurutnya argumen tersebut tidak absah dan
tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dari situ akhirnya Kant sampai pada
kesimpulan Agnostisisme. Menurutnya masalah mengenai tuhan tidak bisa
dibuktikan kebenarannya atau pun ketidakbenarannya. Objek tuhan berada di luar
jangkauan rasio manusia, oleh sebab itu maka kita tidak akan pernah bisa
memiliki pengetahuan tentang tuhan dan inilah yang disebut dengan agnostisisme.
Akan tetapi, Kant tidak berhenti di situ.
Tampaknya ia merasa tidak puas dengan kesimpulannya akhirnya tersebut, dan ia
terus mencoba mengkaji masalah tentang tuhan. Kant pun berakhir pada pernyataan
bahwa meskipun kita tidak akan pernah bisa memiliki pengetahuan tentang tuhan,
tetapi tuhan bisa diandaikan melalui postulat (hipotesis) moral.
Kritisisme Kant
Kritisisme adalah metode pencarian kebenaran
yang mencoba mensintesiskan antara rasionalisme dengan empirisisme.
Menurut aliran rasionalisme, rasiolah
satu-satunya sumber pengetahuan manusia. Ini berarti bahwa seluruh pengetahuan
berada dalam pikiran manusia. Pengetahuan bersifat apriori atau terdapat dalam
pikiran. Seluruh ide dan konsep sudah ada dalam akal budi manusia.
Sedangkan menurut aliran empirisisme, pengalaman
pancaindra-lah satu-satunya sumber pengetahuan manusia. Dari pengamatan
pancaindra manusia kemudian bisa mengetahui berbagai macam hal dan kemudian
menyimpulkan berbagai macam hal tersebut ke dalam hukum-hukum. Segala sesuatu
yang tidak bertolak dari pengalaman dan pengamatan pancaindra bukanlah sebuah
pengetahuan tetapi hanya merupakan imajinasi dan ide-ide belaka. Artinya
pengetahuan itu bersifat aposteriori atau setelah pengalaman.
Di sinilah Kant berperan menggabungkan keduanya.
Menurut Kant baik aliran rasionalisme maupun aliran empirisisme keduanya adalah
benar, tetapi hanya separuhnya saja. Kant berkata kendati seluruh ide dan
konsep bersifat apriori di dalam rasio manusia tetapi ide dan konsep itu hanya
bisa diaplikasikan apabila ada pengalaman.
Kant setuju bahwa pengalaman pancaindra adalah
sumber pengetahuan, tetapi Kant tidak setuju bahwa pengalaman pancaindra
satu-satunya sumber pengetahuan. Dengan kata lain rasio ikut menentukan
konsepsi-konsepsi kita tentang dunia yang membentuk pengetahuan.
Menurut Kant, pengetahuan manusia muncul dari
dua sumber utama yaitu pengalaman pancaindra dan pemahaman akal budi (rasio).
Pengalaman yang diperoleh melalui pancaindra kita kemudian diolah oleh
pemahaman rasio kita dan menghasilkan pengetahuan. Itu sebabnya pengetahuan
manusia selalui bersifat apriori dan aposteriori secara bersamaan. Tanpa
pengalaman indrawi maka pengetahuan hanyalah konsep-konsep belaka, tetapi tanpa
pemahaman rasio pun pengalaman indrawi hanya merupakan kesan-kesan pancaindra
belaka yang tidak akan sampai pada keseluruhan pengertian yang teratur yang
menjadikannya sebagai sebuah pengetahuan.
Penolakan Argumentasi Tentang Keberadaan Tuhan
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa semua
pengetahuan adalah sintesis antara rasio dan pengalaman empiris pancaindra.
Pengetahuan bermula dari pengalaman pancaindra yang kemudian diolah oleh
pemahaman rasio untuk menghasilkan sebuah pengetahuan yang menyeluruh dan
teratur. Oleh sebab itu, maka segala sesuatu yang tidak bisa dialami oleh
pancaindra tidak bisa dijadikan sebagai sumber pengetahuan, tetapi hanya
sebagai sebuah hipotesis belaka.
Maka objek-objek seperti tuhan tidak bisa
dibuktikan kebenarannya dan ketidakbenarannya karena tuhan berada di luar jangkauan
pancaindra. Kita tidak akan pernah bisa mendapatkan pengetahuan tentang tuhan
sejauh apa pun kita berusaha (agnostisisme).
Dari dasar inilah kemudian Kant menolak
argumentasi-argumentasi yang mencoba membuktikan keberadaan tuhan.
Argumentasi pertama yang ditolak oleh Kant
adalah argumentasi fisika-teologis. Menurut argumen ini, fakta di alam semesta
membuktikan bahwa segala sesuatu itu memiliki keterarahan akan tujuan tertentu.
Ada sebuah tatanan yang rapi di alam semesta yang menyebabkan alam semesta ini
seperti telah ada yang mengatur. Semua makhluk hidup di alam semesta tidak ada
begitu saja melainkan seakan-akan memiliki tujuan (telos) akhir. Dan tujuan
akhir (causa finalis) dari semua keterarahan ini adalah menuju kepada tuhan,
maka tuhan itu ada.
Dengan tegas Kant menolak argumen ini. Menurut
Kant, pembuktian melalui data-data empiris secara teoritis tidak sah.
Keterarahan yang dijadikan dasar pijakan argumen fisika teologis tidak secara
langsung bisa membuktikan bahwa tuhan itu ada. Menurutnya; yang bisa
disimpulkan dari argumen itu adalah adanya arsitek dunia yang aktivitasnya
mungkin dibatasi oleh kapasitas makhluk padanya arsitek itu bekerja, dan bukan
kreator dunia yang kepadanya segala sesuatu tunduk.
Argumen kedua yang ditolak oleh Kant adalah
argumen kosmologis. Argumen ini didasarkan pada kontigensi di alam semesta
(kosmos). Kontigensi artinya kemungkinan untuk ada atau tidak ada. Tetapi pada
kenyataannya alam semesta ini ada, padahal alam semesta mungkin saja tidak ada.
Oleh sebab itu maka alam semesta menjadi tidak niscaya alias kontigen. Karena
alam semesta itu tidak niscaya pasti ia bergantung pada sesuatu yang niscaya,
yang niscaya adalah tuhan. Maka tuhan itu ada.
Kant juga menolak argumen kosmologis ini.
Menurut Kant, adalah benar sesuatu yang tidak niscaya (kontigen) pasti
bergantung pada sesuatu yang niscaya. Akan tetapi, argumen ini hanya berlaku
pada objek-objek indrawi saja. Tuhan adalah objek supraindrawi (tidak bisa
diamati oleh pancaindra). Alam semesta adalah objek indrawi dan alam semesta
bergantung pada objek yang supraindrawi (tuhan) adalah tidak sah secara logis.
Argumen ini tidak serta merta membuktikan tuhan itu ada.
Sedangkan argumen ketiga yang juga ditolak
adalah argumen ontologis. Argumen ontologis berpijak pada konsep tuhan sebagai
entitas yang mahasempurna. Oleh karena tuhan mahasempurna itu berarti tuhan itu
ada, karena apabila tuhan tidak ada maka tuhan tidak mahasempurna. Oleh sebab
tuhan mahasempurna, maka tuhan ada.
Lagi-lagi Kant juga menolak argumentasi ini.
Menurut Kant, esensi tidak dengan sendirinya menyertakan eksistensi. Ide atau
konsep tentang sesuatu (seperti tuhan itu mahasempurna) tidak dengan sendirinya
terkandung eksistensinya. Di dalam otak saya, saya berpikir bahwa saya
mempunyai uang 100 juta. Pikiran saya itu nyata adanya, tetapi tidak berarti
saya secara nyata memiliki uang 100 juta. Menurut Kant, kita tidak dapat
menderivasikan (menurunkan) realitas dari konsep. Konsep saya mempunyai uang
100 juta tidak serta merta menjadikan saya memiliki uang 100 juta walaupun
konsep tentang saya memiliki uang 100 juta itu benar adanya. Begitu pula konsep
tuhan mahasempurna tidak serta merta menjadikan tuhan itu ada secara nyata.
Maka kemudian ada tidaknya tuhan tidak dapat
dibuktikan. Kita sampai pada kesimpulan bahwa kita tidak akan pernah memperoleh
pengetahuan tentang keberadaan tuhan dan ketidakberadaannya. Tuhan itu ada atau
tuhan itu tidak ada kita tidak akan pernah sanggup membuktikannya. Tetapi
meskipun begitu keberadaan tuhan masih bisa diandaikan (dipostulatkan) melalui
hukum moral.
Tuhan Sebagai Postulat Hukum Moral
Kita telah mengetahui bahwa tuhan tidak bisa
dibuktikan sebagai sebuah objek pengetahuan. Maka kemudian Kant menyatakan
bahwa memang tuhan hanya bisa didekati melalui iman dan iman itu dilandasi oleh
hukum moral.
Hukum moral mewajibkan kita untuk selalu
melakukan kebaikan. Tetapi hukum moral ini mensyaratkan 3 hal utama, yaitu:
kebebasan, keabadian jiwa, dan keberadaan tuhan.
Kewajiban tentu mengandaikan kebebasan. Kita
bebas untuk tidak menjalankan hukum moral untuk melakukan kebaikan. Maka
kemudian hukum moral menjadi wajib. Kebaikan menjadi wajib dilakukan. Apabila
tidak ada kebebasan maka tidak akan ada kewajiban. Karena manusia bebas untuk
melakukan atau tidak melakukan kebaikan maka kemudian muncul kewajiban untuk
melakukan kebaikan.
Syarat yang kedua adalah keabadian jiwa. Hukum
moral bertujuan untuk mencapai kebaikan tertinggi (summum bonum). Kebaikan
tertinggi ini mengandung elemen keutamaan dan kebahagiaan. Orang dinyatakan
memiliki keutamaan apabila perbuatannya sesuai dengan hukum moral. Dari
keutamaan inilah kemudian muncul kebahagiaan.
Tetapi menurut Kant, manusia itu tidak akan
selalu mencapai kondisi keutamaan. Tidak akan pernah manusia mencapai
kesesuaian kehendak dengan hukum moral. Karena apabila manusia bisa mencapai
kesesuaian ini tanpa putus maka itu adalah kesucian dan tidak ada manusia yang
akan pernah mencapai kesucian mutlak. Manusia hanya akan selalu berusaha untuk
mencapai kesucian itu, dan itu adalah perjuangan tanpa akhir. Karena egoisme
dan sifat dasar manusia lainnya, maka perjuangan mencapai kesucian itu adalah
perjuangan tanpa akhir. Oleh sebab itu, keutamaan yang menjadi elemen kebaikan
tertinggi yang menurpakan tujuan akhir dari hukum moral tidak akan pernah bisa
direalisasikan selama manusia hidup. Dengan kata lain kondisi ideal dimana
terjadi kesesuaian antara kehendak dan hukum moral adalah jika manusia sudah
tidak memiliki kehendak (mati), tetapi apabila setelah mati tidak ada kehidupan
maka kondisi ideal itu juga tidak akan tercapai. Oleh sebab itu, maka hukum
moral mengandaikan bahwa jiwa itu abadi. Bahkan setelah raga ini mati jiwa akan
selalu abadi untuk mencapai kondisi ideal berupa kebaikan tertinggi.
Syarat yang ketiga adalah keberadaan tuhan.
Telah dijelaskan bahwa kebaikan tertinggi atau summum bonum memiliki elemen
keutamaan dan kebahagaiaan. Keutamaan adalah kesesuaian antara kehendak dengan
hukum moral dan dari keutamaan inilah muncul kebahagiaan. Kebahagiaan sendiri
adalah kondisi di mana realitas manusia sesuai dengan keinginan dan
kehendaknya. Tapi hal itu tidaklah mungkin karena manusia bukan yang
mahapengatur yang bisa mengharmoniskan dunia fisik sesuai dengan kehendak dan
keinginannya. Tapi justru itulah yang diandaikan apabila kita memiliki
keutamaan. Kebahagiaan diandaikan sebagai sintesis dari dunia fisik, kehendak,
dan keinginan. Realitas inilah yang kemudian disebut tuhan. Tuhan adalah
penyebab tertinggi alam sejauh alam itu diandaikan untuk kebaikan tertinggi
atau tuhan adalah pencipta alam fisik yang sesuai dengan kehendak dan
keinginan-Nya.
Apabila kita bertindak sesuai hukum moral maka
akan membawa kita pada keutamaan dan keutamaan akan membawa kita pada
kebahagiaan dan kebahagiaan adalah kondisi di mana terdapat kesesuaian antara
alam fisik dengan kehendak dan keinginan. Dan yang memiliki kesesuaian ketiga
elemen ini adalah tuhan. Maka, dengan berbuat baik kita akan sampai pada
realitas keberadaan tuhan. Artinya hukum moral mengandaikan keberadaan tuhan.
Jika 3 syarat (kebebasan, keabadian jiwa, dan
keberadaan tuhan) ini tidak diandaikan keberadaanya, maka runtuhlah sistem
moral. Padalah sistem moral itu selalu ada. Kebaikan selalu ada dan manusia
selalu mencoba mewujudkan kebaikan tersebut.
Dari uraian di atas bisa diambil kesimpulan
bahwa hukum moral mensyaratkan keberadaan tuhan. Tuhan memang tidak bisa
dibuktikan secara logis tetapi bisa dibuktikan melalui hukum moral.
Ke-3 syarat hukum moral harus diandaikan ada,
karena jikalau tidak ada maka sistem moral tidak ada, padahal pada kenyataannya
kebaikan selalu ada. Maka oleh sebab itu, tuhan pun harus diandaikan ada.
Meskipun Kant hanya sampai pada pengandaian
(postulat), tetapi ini kiranya bisa dijadikan salah satu dasar argumen untuk
menjawab serangan para penentang keberadaan tuhan. Lagi pula apabila
kepercayaan terhadap keberadaan tuhan bisa dibuktikan secara logis empiris,
maka kepercayaan kepada tuhan tidak lagi menjadi soal iman melainkan sains.
Daftar Pustaka:
Hawasi. (2003). Immanuel Kant: Langit Berbintang
di Atasku Hukum Moral di Batinku. Jakarta: Poliyama Widyapustaka.
Sitorus, Fitzgerald K. (2007). Immanuel Kant:
Tuhan sebagai Postulat Akal Budi Praktis. Paper Diskusi Tuhan dan Agama di Mata
Para Filsuf. PSIK Universitas Paramadina.
Irfan Syaebani, 21 Mei 2011. 16.34 WIB
Pandangan Kant tentang Tuhan bersifat rancu ,maju tidak mundur total tidak
BalasHapusUjang ti bandung kompasiana
BalasHapus